Keruntuhan Teori Evolusi

Sebuah detail yang ada di alam ini menunjukkan pada adanya satu penciptaan yang superior. Sebaliknya materialisme, yang berusaha keras untuk menolak fakta adanya penciptaan di alam semesta ini, tak menghadirkan apa-apa kecuali satu kerancuan teori sains.

Sekali saja materialisme dianggap tidak valid maka semua teori yang didasarkan atas teori ini menjadi sangat tidak berdasar. Di antara yang paling menonjol dari materialisme adalah Darwinisme yang terkenal dengan terori evolusinya. Teori yang menyatakan bahwa kehidupan ini berasal dari materi yang mati melalui teori kebetulan, telah dihancurkan dengan adanya pengakuan bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Allah. Hugh Ross, seorang astro-phisikis asal Amerika, menerangan dalam uraiannya,

“Atheisme, Darwinisme, dan semua ‘isme’ yang berasal dari filsafat abad kedelapan belas dan kesembilan belas didasarkan pada asumsi, tepatnya asumsi yang tidak benar, bahwa semesta ini adalah sesuatu yang infinit (tak terbatas). Ketunggalan telah membawa kita semua untuk berhadapan dengan satu sebab-atau penyebab—di atas/di samping/dan sebelum alam dan semua kandungannya termasuk kehidupan itu sendiri.” 1

Allahlah yang menciptakan semesta ini dan Dia pulalah yang telah merancangnya dalam detailnya yang paling kecil. Dengan demikian, sangat tidak mungkin bagi teori evolusi, yang menyatakan bahwa kehidupan ini tidak diciptakan oleh Allah dan hanya sebagai produk dari kebetulan, untuk dianggap sebagai sebuah teori yang benar.

Yang sangat menakjubkan adalah bahwa tatkala kita semua melihat pada teori evolusi ini, kita melihat bahwa teori ini ditolak oleh penemuan-penemuan ilmiah, di mana desain dalam hidup ini demikian kompleks dan rumit. Dalam sebuah dunia yang mati, misalnya, kita bisa mengeksplorasi sejauh mana sensitivitas keberimbangan di mana atom masih tersisa, dan kemudian bagaimana di dunia yang mati, kita bisa mengobservasi bagaimana kompleksnya desain atom itu di mana mereka bisa bersatu, dan bagaimana anehnya mekanisme dan struktur dari protein-protein, enzim, sel, yang diproduksi olehnya.

Kehebatan yang luar biasa dari desain dalam kehidupan ini telah menjadikan teori Darwin kehilangan validitasnya di akhir abad ke-20.

Kami telah merinci masalah ini secara panjang-lebar dalam sebuah kajian yang kami lakukan dan akan terus kami lakukan. Bagaimanapun, kami tetap berpikir bahwa, mengingat pentingnya masalah ini, akan sangat membantu jika kami dalam tulisan ini membuat ringkasannya.

Kehancuran Teori Darwin Secara Saintifik

Walaupun teori ini sebenarnya telah ada sejak zaman Yunani Kuno, namun teori evolusi dibicarakan secara sangat ekstensif pada abad ke-19. Perkembangan yang membuat teori ini naik menjadi topik utama adalah karena adanya sebuah buku yang ditulis oleh Charles Darwin yang berjudul The Origin of Species yang diterbitkan pada tahun 1859. Dalam buku ini, Darwin menolak bahwa keberbedaan dari spesis yang ada di dunia ini diciptakan secara terpisah oleh Allah. Menurut Darwin, semua yang hidup ini memiliki asal yang sama dan mereka mengalami diversiasi dalam jangka waktu yang lama melalui perubahan-perubahan kecil.

Teori Darwin ini sama sekali tidak didasarkan pada penemuan saintifik yang konkret, sebagaimana ia juga menerima bahwa itu hanyalah “asumsi”. Lebih dari itu, sebagaimana diakui Darwin dalam sebuah judul tulisannya yang sangat panjang dalam bukunya itu yang dia beri judul “Difficulties of the Theory”, dia menyatakan bahwa teorinya ini telah gagal memberikan jawaban terhadap berbagai pertanyaan yang kritis.

Darwin menggantungkan semua harapannya pada adanya penemuan baru yang bersifat saintifik yang dia harapkan bisa menyelesaikan Difficulties of the Theory. Akan tetapi, yang terjadi adalah sebaliknya dari apa yang dia harapkan. Penemuan-penemuan ilmiah semakin memperpanjang dimensi-dimensi kesulitan itu.

Kekalahan Darwinisme ini dalam berhadapan dengan sains bisa kita ringkas dalam tiga topik dasar berikut.

1. Teori evolusi ini sama sekali tidak mampu menerangkan bagaimana kehidupan ini muncul di muka bumi.

2. Tidak ada penemuan ilmiah yang menunjukkan bahwa “mekanisme evolusi” yang dicanangkan oleh teori ini memiliki kekuatan untuk membenarkan semua itu.

3. Rekaman fosil yang ada secara lengkap membuktikan sesuatu yang sangat bertentangan dengan semua kemungkinan yang ditawarkan oleh teori evolusi.

Pada bab ini, kita akan menganalisis tiga poin dasar ini dalam garis besar yang bersifat umum.

Tahap Pertama Yang Tidak Dapat Diatasi: Asal-Usul Kehidupan

Teori evolusi menyatakan bahwa semua spesies yang hidup tersusun dari satu sel yang muncul pada permukaan bumi yang primitif 3,8 miliar tahun yang lalu. Bagaimana satu sel tunggal dapat berkembang menjadi jutaan spesies hidup yang kompleks dan, jika proses evolusi yang seperti itu benar terjadi, mengapa fosil-fosilnya tidak dapat diamati dalam rekaman fosil, adalah beberapa pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh teori evolusi tersebut. Akan tetapi, tahap pertama dari proses teori evolusi menduga proses revolusioner yang harus dipertanyakan adalah bagaimana “sel pertama” ini berkembang?

Karena teori evolusi menolak proses penciptaan dan tidak dapat menerima berbagai intervensi supernatural, teori tersebut menganggap bahwa “sel pertama” berkembang secara kebetulan dalam hukum alam, tanpa adanya desain, perencanaan, atau penyusunan. Menurut teori evolusi, suatu benda mati harus telah memproduksi dari sel hidup sebagai hasil dari proses yang kebetulan tadi. Akan tetapi, hal ini merupakan suatu klaim yang memiliki inkonsistensi, bahkan dengan aturan yang ada dalam ilmu biologi.

“Kehidupan Berasal Dari Kehidupan”

Dalam bukunya, Darwin tidak pernah merujuk pada asal kehidupan. Pemahaman yang primitif tentang sains di masa itu bersandar pada asumsi bahwa makhluk hidup mempunyai suatu struktur yang sederhana. Sejak masa abad pertengahan, generatio spontanea (spontaneous generation), teori yang menilai bahwa benda mati merupakan asal terbentuknya organisme hidup, telah diterima secara luas. Sesuatu yang lumrah (pada saat itu) bila diyakini bahwa serangga berasal dari sisa-sisa makanan dan tikus berasal dari gandum. Berbagai percobaan yang menarik telah dilakukan untuk membuktikan kebenaran teori ini. Gandum diletakkan pada secarik kertas kotor dan diyakini bahwa tikus akan muncul darinya setelah beberapa waktu.

Serupa dengan itu, larva (belatung/ulat) yang berkembang biak dalam daging telah diasumsikan menjadi bukti dari generatio spontanea. Akan tetapi, hanya beberapa waktu kemudian, telah dipahami bahwa belatung tidak muncul dari daging secara spontan, tetapi telah dibawa oleh lalat dalam bentuk larva (atau telur sebelum menjadi larva) yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang.

Lebih dari itu, pada periode ketika Darwin menulis The Origin of Species, keyakinan bahwa bakteri berasal dari benda mati telah diterima secara luas di dunia sains. Akan tetapi, lima tahun setelah buku karya Darwin itu diterbitkan, penemuan Louis Pasteur menggugurkan keyakinan ini, yang merupakan karya dasar dari teori evolusi. Pasteur memberikan suatu kesimpulan yang dia dapatkan setelah melakukan beberapa kajian dan eksperimen panjang, “Klaim bahwa benda mati dapat mengakibatkan kehidupan telah terkubur dalam sejarah.” 2

Dukungan terhadap teori evolusi terhambat oleh penemuan Pasteur selama jangka waktu yang panjang. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan sains yang dapat membongkar seluk-beluk struktur yang kompleks dari sel makhluk hidup, pandangan bahwa kehidupan muncul secara kebetulan menghadapi suatu kebuntuan yang bahkan lebih besar lagi.

Usaha-Usaha Yang Tidak Meyakinkan Pada Abad Ke-20

Seorang evolusionis pertama yang mengemukakan bahasan tentang asal kehidupan di abad kedua puluh adalah seorang ahli biologi Rusia termasyhur bernama Alexander Oparin. Dengan beragam tesis, dia menjadi terkenal pada tahun 1930-an. Dia telah mencoba untuk membuktikan bahwa sel suatu makhluk hidup dapat berkembang biak dengan ketidaksengajaan. Akan tetapi, kajian-kajian ini berakhir dengan kegagalan dan Oparin harus membuat suatu pengakuan,

“Sayangnya, asal dari sel tetap menjadi suatu pertanyaan yang menjadi suatu poin tergelap dalam seluruh teori evolusi.” 3

Para evolusionis pengikut Oparin telah mencoba melakukan eksperimen untuk memecahkan masalah asal kehidupan. Eksperimen yang paling terkenal ini dilakukan oleh seorang ahli kimia Amerika Stanley Miller pada tahun 1953. Dengan mengombinasikan gas-gas yang dia kira muncul pada atmosfir bumi yang primordial (purba) dalam suatu rangkaian eksperimen, dan menambahkan energi pada campuran itu, Miller mensintesis beberapa molekul organik (asam amino) yang ada dalam struktur protein.

Baru saja beberapa tahun berlalu sebelum hal tersebut diungkapkan bahwa eksperimen ini, yang kemudian dipresentasikan sebagai satu langkah penting atas nama teori evolusi, adalah invalid. Ternyata atmosfir yang digunakan dalam eksperimen sangat berbeda dengan kondisi bumi yang sesungguhnya.4

Setelah diam beberapa lama, Miller mengakui bahwa media atmosfir yang dia pergunakan adalah tidak realistis.5

Semua upaya para evolusionis yang dilakukan selama abad kedua puluh untuk menerangkan asal kehidupan berakhir dengan kegagalan. Seorang ahli geo-kimia bernama Jeffrey Bada dari San Diego Scripps Institute menerima fakta ini dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh majalah Earth pada tahun 1998,

“Hari ini, begitu kita meninggalkan abad kedua puluh, kita masih menghadapi suatu masalah terbesar yang tidak terpecahkan seperti yang telah kita miliki ketika kita memasuki abad kedua puluh: bagaimana kehidupan berkembang di muka bumi?” 6

Struktur Kompleks Kehidupan

Alasan utama mengapa teori evolusi berakhir dengan suatu kebuntuan yang besar seperti itu tentang asal kehidupan adalah karena organisme yang hidup yang dianggap paling sederhana pun mempunyai struktur yang benar-benar rumit. Sel suatu makhluk hidup adalah lebih rumit daripada seluruh produk teknologi yang diproduksi oleh manusia. Dewasa ini, bahkan pada laboratorium yang paling maju pun di dunia, suatu sel kehidupan tidak dapat diproduksi dengan memadukan berbagai materi inorganik sekaligus.

Kondisi yang diharapkan bagi pembentukan suatu sel juga besar kuantitasnya untuk dapat diterangkan yang sesuai dengan kebetulan belaka. Probabilitas protein, blok-blok sel yang dibangun, yang disintetiskan secara tidak sengaja, adalah 1 dalam 10950 bagi suatu protein rata-rata yang terbuat dari 500 asam amino. Dalam ilmu matematika, suatu probabilitas lebih kecil daripada 1 atas 1050 secara praktis adalah tidak mungkin.

Molekul DNA, yang terletak pada nukleus sebuah sel dan yang menyimpan informasi genetika, adalah suatu bank data yang luar biasa. Dikalkulasikan bahwa jika informasi yang terdapat dalam DNA dicatat, ini akan membuat suatu perpustakaan raksasa yang terdiri atas 900 volume ensiklopedia yang masing-masing mempunyai 500 halaman.

Suatu dilema yang sangat menarik muncul pada bagian ini: DNA hanya dapat bereplikasi dengan bantuan beberapa protein khusus (enzim). Akan tetapi, sintesis dari enzim-enzim ini hanya dapat direalisasikan dengan informasi yang terdapat dalam DNA. Karena keduanya saling tergantung satu dengan yang lainnya, mereka harus eksis pada waktu yang bersamaan untuk melakukan replikasi. Hal ini membawa skenario bahwa kehidupan yang dikembangkan oleh dirinya sendiri hanya akan membawa kebuntuan. Prof. Leslie Orgel, seorang evolusionis yang bereputasi dari Universitas San Diego, California, mengakui kenyataan ini pada bulan September tahun 1994 yang dibahas pada mahalah Scientific American,

“Adalah sangat tidak mungkin bahwa protein dan asam nukleus, keduanya yang secara struktural sangat kompleks, tumbuh secara spontan di tempat yang sama pada waktu yang sama. Akan tetapi, tampaknya adalah hal yang tidak mungkin untuk mempunyai yang satu tanpa yang lainnya. Dan begitu juga, pada pandangan sekilas, seseorang mungkin harus menyimpulkan bahwa kehidupan sesungguhnya tidak pernah berasal dari sarana kimiawi.” 7

Tidak diragukan, jika tidak mungkin bagi kehidupan untuk berkembang dari penyebab alam, adalah harus diterima bahwa kehidupan telah “diciptakan” secara supernatural. Fakta ini secara eksplisit telah mementahkan teori evolusi, yang mempunyai tujuan utama untuk menolak proses penciptaan.

Mekanisme Imajiner Dari Teori Evolusi

Poin penting kedua yang menyebabkan ditolaknya teori Darwin adalah bahwa kedua konsep mengemukakan dengan teori sebagai “mekanisme evolusioner” yang pada relitasnya dipahami tidak mempunyai kekuatan evolusioner.

Darwin mendasarkan seluruh pemunculan teori evolusinya pada mekanisme “seleksi alam”. Kepentingan yang dia sandarkan pada mekanisme ini telah jelas tertulis dalam bukunya: The Origin of Species, By Means of Natural Selection.

Seleksi alam berpandangan bahwa makhluk-makhluk hidup yang lebih kuat dan lebih pandai menyesuaikan diri dengan kondisi alam pada habitatnya akan dapat bertahan hidup dengan segala perjuangannya. Contohnya, pada sekelompok rusa yang berada di bawah ancaman serangan binatang buas, mereka yang dapat berlari lebih cepat akan dapat bertahan hidup. Karenanya, sekawanan rusa akan terdiri atas individu-individu yang lebih cepat dan lebih kuat. Akan tetapi, satu hal yang tidak dapat dipertanyakan, mekanisme ini tidak akan menyebabkan rusa-rusa tersebut berkembang dan mentransformasi diri mereka menjadi species hidup yang berbeda, misalnya menjadi kuda.

Karena itu, mekanisme seleksi alam tidaklah mempunyai kekuatan evolusioner. Darwin juga menyadari fakta ini dan menyatakan dalam bukunya, The Origin of Species,

“Seleksi alam tidak dapat melakukan apa pun yang menyebabkan terjadinya berbagai variasi yang menguntungkan.” 8

Pengaruh Lamarck

Bila demikian, bagaimana “variasi-variasi yang menguntungkan” ini dapat terjadi? Darwin telah mencoba untuk menjawab pertanyaan ini dari sudut pandang pemahaman primitif sains pada masanya. Menurut seorang ahli biologi Prancis bernama Lamarck, yang hidup sebelum Darwin, makhluk hidup bertahan hidup melalui sifat-sifat yang dimiliki selama hidupnya sampai generasi berikutnya dan sifat-sifat ini, yang berakumulasi dari satu generasi ke generasi berikutnya, menyebabkan terbentuknya species-species baru. Misalnya, menurut Lamarck, jerapah berkembang dari antelop; seiring dengan perjuangan mereka untuk memakan dedaunan pada pohon yang tinggi, leher mereka memanjang dari generasi ke generasi.

Darwin juga memberikan contoh yang sama, dalam bukunya, The Origin of Species, misalnya, ia mengatakan bahwa beberapa beruang yang pergi ke air untuk mencari makanan mentransformasi dirinya menjadi ikan paus setelah beberapa waktu. 9

Akan tetapi, hukum-hukum keturunan yang ditemukan oleh Mendel dan diverifikasi oleh ilmu genetika yang berkembang pada abad kedua puluh, secara lugas membongkar legenda bahwa sifat-sifat yang dimiliki diwariskan pada generasi berikutnya. Karenanya, seleksi alam telah gagal menjadi suatu mekanisme evolusioner.

Neo-Darwinisme Dan Mutasi

Agar dapat menemukan suatu solusi, para Darwinis mengembangkan “Teori Sintetis Modern” atau yang lebih dikenal sebagai Neo-Darwinisme, pada akhir tahun 1930-an. Neo-Darwinisme menambahkan mutasi, yang merupakan berbagai distorsi yang dibentuk dalam gen-gen makhluk hidup karena faktor-faktor eksternal seperti radiasi atau kesalahan-kesalahan replikasi, sebagai “penyebab dari beragam variasi yang menguntungkan” yang merupakan tambahan bagi mutasi alam.

Dewasa ini, model yang menyangga teori evolusi di dunia adalah Neo-Darwinisme. Teori tersebut berpendapat bahwa jutaan makhluk hidup yang ada di muka bumi ini terbentuk sebagai hasil dari suatu proses di mana organ-organ yang sangat kompleks dari organisme-organisme ini, seperti telinga, mata, paru-paru, dan sayap, mengalami “mutasi”, yaitu kekacauan genetika. Akan tetapi, ada satu fakta saintifik yang sama sekali palsu bahwa secara keseluruhan, yang meruntuhkan teori ini adalah: mutasi tidak menyebabkan makhluk hidup berkembang; sebaliknya, mutasi selalu menyebabkan kerusakan terhadap mereka.

Alasan untuk ini adalah sangat sederhana: DNA mempunyai suatu struktur yang kompleks dan pengaruh-pengaruh acak hanya dapat menyebabkan kerusakan kepadanya. Seorang ahli genetika Amerika bernama B.G. Ranganathan menerangkan hal ini,

“Mutasi merupakan suatu proses yang kecil, acak, dan merusak. Ia jarang terjadi dan kemungkinan yang terbaik adalah bahwa ia tidak akan berpengaruh. Empat karakteristik mutasi ini mengimplikasikan bahwa mutasi tidak dapat mengarah pada suatu perkembangan evolusioner. Suatu perubahan yang acak pada suatu organisme yang sangat khusus adalah tidak berpengaruh atau rusak. Suatu perubahan yang acak dalam suatu pengamatan tidak dapat meningkatkan pengamatan. Hal tersebut kemungkinan besar akan merusaknya atau paling tidak akan tidak memengaruhi. Gempa bumi tidak memperbaiki suatu kota, tetapi menyebabkan kerusakan.” 10

Tidak mengherankan, tidak ada contoh dari mutasi yang berguna, karena yang diobservasi untuk mengembangkan sandi genetika telah diobservasi sejauh ini. Semua mutasi telah terbukti merusak. Karenanya, dipahami bahwa mutasi, yang dipresentasikan sebagai “mekanisme evolusioner”, sebenarnya adalah suatu peristiwa genetika yang merusak makhluk hidup dan menyebabkannya tidak berguna. (Pengaruh yang paling umum dari mutasi terhadap umat manusia adalah kanker). Tidak diragukan, suatu mekanisme destruktif tidak dapat dikatakan sebagai suatu “mekanisme evolusioner”. Sebaliknya, seleksi alam yang “tidak dapat melakukan apa pun terhadap dirinya” sebagaimana yang diterima oleh Darwin. Fakta ini menunjukkan kepada kita bahwa tidak ada “mekanisme evolusioner” di alam. Karena tidak ada mekanisme evolusioner yang eksis, tidak juga terdapat proses imajiner yang disebut “teori evolusi” yang telah dikemukakan.

Catatan Fosil: Tidak Ada Tanda Bentuk-Bentuk Transisi

Bukti yang paling jelas bahwa skenario yang dikemukakan oleh teori evolusi tidak mendapatkan tempat adalah catatan fosil.

Menurut teori evolusi, setiap species hidup telah tertutup dari pendahulunya. Suatu species yang ada sebelumnya telah berubah menjadi sesuatu yang lain dalam satu waktu dan semua species menjadi seperti itu dengan cara seperti ini. Menurut teori evolusi, transformasi ini berproses secara bertahap selama berjuta-juta tahun.

Bila hal ini menjadi pembicaraan, species lanjutan dalam jumlah yang besar seharusnya telah eksis dan hidup selama periode transformasi yang panjang ini.

Misalnya, beberapa ekor hewan setengah ikan dan setengah reptil seharusnya telah hidup di masa lampau yang mempunyai beberapa sifat reptil sebagai tambahan terhadap sifat ikan yang telah ada. Atau, seharusnya telah ada beberapa burung reptil, yang memiliki beberapa sifat burung sebagai tambahan terhadap sifat reptil yang telah dimiliki sebelumnya. Karena hal ini akan menjadi sebuah fase transisi, mereka seharusnya adalah makhluk yang tidak mampu melakukan apa pun, cacat, dan lumpuh. Para evolusionis merujuk kepada makhluk-makhluk imajiner ini, yang mereka yakini telah hidup di masa lampau, sebagai “bentuk transisi”.

Jika hewan-hewan seperti itu benar-benar telah eksis sebelumnya, seharusnya kuantitas mereka pastilah sangat besar; jutaan bahkan miliaran hewan dan varietasnya juga pastilah banyak. Yang lebih penting, peninggalan dari makhluk-makhluk yang aneh ini pun seharusnya ada dalam catatan fosil. Dalam The Origin of Species, Darwin telah menerangkan,

“Jika teori saya ini benar, tidak ada varietas transisi, yang berhubungan paling dekat dengan semua species pada kelompok yang sama harusnya dipastikan pernah eksis.... Konsekuensinya, bukti dari keberadaan mereka dapat ditemukan hanya di antara peninggalan-peninggalan fosil.” 11

Harapan-Harapan Darwin Yang Kandas

Akan tetapi, meskipun para evolusionis telah berusaha sekuat tenaga untuk menemukan fosil-fosil sejak pertengahan abad kesembilan belas di seluruh dunia, tidak ada satu bentuk transisi pun yang ditemukan. Semua fosil yang telah ditemukan di bumi menunjukkan bahwa, bertentangan dengan harapan para evolusionis, kehidupan muncul di muka bumi dalam satu masa dan penuh dengan perhitungan.

Seorang palaentologis yang berasal dari Inggris, Derek V. Ager, mengakui fakta ini, meskipun dia adalah seorang evolusionis,

“Poin yang hadir bila kita menguji catatan fosil secara mendetail, baik dalam level susunan maupun species, kita menemukan–secara berulang-ulang-hal tersebut bukanlah suatu evolusi yang gradual, melainkan ledakan sekejap dari satu kumpulan dengan mengorbankan yang lainnya.” 12

Hal ini berarti bahwa dalam catatan fosil, semua species tiba-tiba muncul sebagai bentuk yang sempurna, tanpa melalui bentuk transisi sebelumnya. Hal ini bertentangan dengan asumsi-asumsi yang dikemukakan oleh Darwin. Juga, adalah suatu bukti yang sangat kuat bahwa makhluk hidup diciptakan. Satu-satunya keterangan tentang suatu species hidup yang muncul tiba-tiba dan sangat lengkap detail-detailnya tanpa adanya nenek moyang evolusioner dapat menjadi sebab terciptanya species ini. Fakta ini diakui juga oleh seorang ahli biologi evolusionis yang terkenal luas, Douglas Futuyma,

“Proses penciptaan dan evolusi, di antara keduanya, menyebabkan adanya keterangan yang mungkin bagi asal makhluk hidup. Organisme yang muncul di permukaan bumi dengan bentuk yang sempurna atau tidak. Jika mereka tidak, mereka harusnya berkembang dari species yang ada sebelumnya dengan beberapa proses modifikasi. Jika mereka telah muncul dalam bentuk yang sempurna, mereka pastilah diciptakan oleh suatu kecerdasan yang hanya dimiliki oleh Yang Mahakuasa.” 13

Fosil-fosil menunjukkan bahwa makhluk hidup yang muncul merupakan makhluk yang tersusunan sempurna dan terencana di muka bumi. Hal ini berarti bahwa “asal makhluk hidup” (the origin of species) adalah bertolak belakang dengan dugaan Darwin: bukan evolusi, tetapi penciptaan.

Riwayat Evolusi Manusia

Bahasan yang paling sering diangkat oleh para pendukung teori evolusi adalah tentang asal manusia. Para pengikut Darwin mengklaim bahwa manusia modern sekarang ini berkembang dari beberapa macam makhluk seperti kera. Selama terjadinya proses evolusioner ini, yang diperkirakan telah dimulai sejak 4-5 juta tahun yang lalu, mereka mengklaim bahwa telah ada beberapa “bentuk transisi” antara manusia modern dan para nenek moyangnya. Menurut skenario imajiner yang lengkap ini, empat “kategori” dasar disusun:

1. Australopithecus

2. Homo habilis

3. Homo erectus

4. Homo sapiens

Para evolusionis menyebutkan bahwa yang dikatakan sebagai nenek moyang pertama manusia adalah yang seperti kera “Australopithecus” yang berarti “kera Afrika Selatan”. Makhluk-makhluk hidup ini sebenarnya tidak pernah ada, tetapi species kera tualah yang pernah eksis. Sebuah riset yang ekstensif dilakukan terhadap beragam sampel Australopithecus oleh dua orang ahli anatomi terkenal dunia yang berasal dari Inggris dan Amerika, Lord Solly Zuckerman dan Prof. Charles Oxnard, menunjukkan bahwa semua itu merupakan fosil species kera biasa yang telah punah dan hampir tidak ada kemiripannya dengan manusia.” 14

Para evolusionis mengklasifikasi tahap dari proses evolusi manusia selanjutnya sebagai “homo” yang berari “manusia.” Dalam klaim para evolusionis, makhluk hidup dalam serial Homo jauh lebih cepat perkembangannya daripada Australopithecus. Evolusionis merencanakan skema fantastis dengan cara menyusun fosil-fosil yang beragam dari tatanan yang tertentu. Skema ini merupakan suatu imajinasi sebab tidak pernah dibuktikan bahwa ada sebuah hubungan evolusionir antara kelompok-kelompok yang berbeda tersebut. Ernst Mayr, salah seorang pembela utama teori evolusi pada abad kedua puluh, mengakui fakta ini dengan menyatakan bahwa “rantai yang mencapai sejauh Homo sapiens sebenarnya hilang.” 15

Dengan garis besar rantai hubungan seperti “Australopithecus Homo habilis Homo erectus Homo sapiens”, para evolusionis mengimplikasikan bahwa setiap species ini merupakan nenek moyangnya satu dengan yang lainnya. Akan tetapi, penemuan terakhir dari para palaentologis mengemukakan bahwa Australopithecus, Homo habilis, dan Homo erectus telah hidup di bagian dunia yang berbeda pada waktu yang bersamaan. 16

Selain itu, suatu segmen tertentu dari manusia yang diklasifikasikan sebagai Homo erectus terus hidup hingga masa yang sangat modern. Homo sapiens neandarthalensis dan Homo sapiens (manusia modern) eksis secara bersamaan pada wilayah yang sama. 17

Situasi yang transparan ini mengindikasikan ketidakvalidan dari klaim bahwa mereka merupakan nenek moyang satu dengan yang lainnya. Seorang palaentologis dari Universitas Harvard, Stephen Jay Gould, menerangkan tentang kebuntuan dari teori evolusi ini meskipun dia sendiri adalah seorang evolusionis,

“Apa yang menjadi tangga kami jika ada tiga species manusia yang eksis secara bersamaan di kurun yang sama (Australopithecus africanus, robus australopithecines, dan Homo habilis), tidak ada satu pun yang dengan jelas merupakan ubahan dari yang lainnya? Selain itu, tidak satu pun dari ketiganya yang berperan dalam proses evolusioner selama mereka hidup di muka bumi.” 18

Singkatnya, skenario dari evolusi manusia, yang dipandang terjadi dengan bantuan beragam gambaran dari beberapa makhluk “setengah kera, setengah manusia” yang muncul di media-media dan buku-buku pelajaran, sejujurnya merupakan suatu propaganda yang disengaja, tidak ada, dan hanya merupakan suatu dongeng tanpa adanya dasar saintifik.

Lord Solly Zuckerman, salah seorang saintis paling terkemuka dan terkenal di Inggris, yang telah melakukan riset tentang bahasan ini selama bertahun-tahun dan secara khusus telah mengkaji fosil-fosil Australopithecus selama lima belas tahun, akhirnya menyimpulkan, meskipun dia sendiri adalah seorang evolusionis, bahwa sebenarnya tidak ada silsilah keluarga dari kera yang mempunyai kemiripan dengan manusia.

Zuckerman juga membuat suatu ”spektrum sains” yang menarik. Dia membuat suatu spektrum sains yang terdiri atas mereka yang dia anggap saintifik hingga mereka yang tidak saintifik. Menurut spektrum Zuckerman, yang “paling saintifik” adalah-berdasarkan pada data-data konkret–bidang sains, yaitu kimia dan fisika. Setelah keduanya adalah ilmu biologi dan kemudian ilmu sosial. Di akhir spektrum, yang dianggap sebagai yang “paling tidak saintifik”, adalah “persepsi-ekstra sensori”—konsep-konsep seperti telepati dan indera keenam–dan yang terakhir adalah “evolusi manusia”. Zuckerman menerangkan tentang alasannya,

“Kami kemudian berpaling pada susunan kebenaran yang objektif kepada bidang ilmu biologi pra-asumsi, seperti persepsi ekstra-sensori atau interpretasi sejarah fosil manusia, di mana keyakinan (para evolusionis) terhadap sesuatu adalah mungkin dan di mana pada saat yang sama secara berapi-api meyakini (dalam masalah evolusi) sesuatu yang dapat diyakini secara kontradiktif.” 19

Riwayat evolusi manusia tidak menghasilkan apa pun kecuali interpretasi-interpretasi yang didasari praduga tentang beberapa fosil yang digali oleh orang-orang tertentu, yang secara membabi buta mengikuti teori mereka.

Teknologi Di Mata Dan Telinga

Bahasan lainnya yang tetap tidak terjawab oleh teori evolusi adalah kualitas persepsi istimewa yang dimiliki oleh mata dan telinga.

Sebelum melanjutkan kepada bahasan tentang mata, marilah kita jawab suatu pertanyaan tentang “bagaimana kita melihat”. Sinar-sinar terang yang berasal dari suatu objek jatuh secara berseberangan pada retina mata. Di sini, sinar-sinar terang ini ditransmisikan ke dalam signal elektrik oleh sel-sel dan mereka mencapai satu titik tipis di belakang otak yang disebut pusat penglihatan. Signal-signal elektrik ini dipersepsikan dalam pusat otak ini sebagai suatu gambaran setelah melalui serangkaian proses. Dengan latar belakang teknis ini, marilah kita berpikir.

Otak diisolasi dari cahaya. Hal ini berarti di dalam otak adalah benar-benar gelap dan cahaya tidak mencapai lokasi di mana otak terletak. Tempat yang disebut pusat penglihatan adalah suatu tempat yang benar-benar gelap di mana tidak ada sedikit pun cahaya pernah mencapainya; mungkin ini adalah tempat yang paling gelap yang pernah Anda tahu. Akan tetapi, Anda mengobservasi suatu dunia yang terang dan berkilauan pada kegelapan yang gulita.

Gambaran yang dibentuk pada mata sangatlah tajam dan bahkan berbeda dengan teknologi abad kedua puluh yang belum pernah dapat dicapainya. Misalnya, perhatikanlah buku yang Anda baca, tangan yang dengannya Anda menggenggam buku, kemudian angkatlah kepala Anda dan lihatlah sekeliling Anda. Pernahkah Anda melihat suatu gambaran yang tajam dan terang sedemikian halnya juga di tempat yang lain? Bahkan, layar televisi yang paling canggih pun yang diproduksi oleh produser televisi terbesar di dunia tidak dapat menyediakan suatu gambaran yang tajam seperti itu bagi Anda. Ini adalah gambaran tiga dimensi, berwarna, dan sangat tajam. Selama lebih dari seratus tahun, beribu-ribu insinyur telah mencoba untuk mencapai ketajaman seperti ini. Pabrik, tempat yang besar, telah didirikan, berbagai riset telah dilakukan, rencana dan desain telah dibuat untuk tujuan ini. Juga, perhatikanlah layar televisi dan buku yang dipegang oleh tangan Anda. Anda akan melihat bahwa ada suatu perbedaan yang sangat besar dalam ketajaman dan perbedaan. Selain itu, layar televisi hanya menunjukkan gambaran dua dimensi kepada Anda, sedangkan dengan mata, Anda melihat suatu perspektif tiga dimensi yang mempunyai kedalaman.

Selama bertahun-tahun, puluhan ribu insinyur telah mencoba membuat televisi tiga dimensi dan mencapai daya lihat yang berkualitas sama dengan mata. Ya, mereka telah membuat sistem televisi tiga dimensi, tetapi tidak mungkin untuk melihatnya tanpa menyimpannya dalam kaca; selain itu, itu hanyalah suatu tiga dimensi yang tidak alami (buatan). Latar belakangnya lebih kabur, latar depannya tampak seperti permukaan kertas. Benda tersebut tidak pernah mampu menghasilkan satu daya lihat yang tajam dan terang seperti yang dilakukan oleh mata. Baik pada kamera maupun televisi, ada suatu kualitas gambaran yang hilang.

Para evolusionis mengklaim bahwa mekanisme yang menghasilkan gambaran yang tajam dan terang ini telah terbentuk secara kebetulan. Sekarang, jika seseorang mengatakan kepada Anda bahwa gambar pada televisi di kamar Anda terbentuk sebagai hasil yang disengaja, yang dilakukan oleh semua atom yang datang bersamaan dan menyusun peralatan yang menghasilkan suatu gambaran, apa pendapat Anda? Bagaimana atom-atom tersebut dapat melakukan apa yang tidak dapat dilakukan manusia?

Jika suatu alat menghasilkan suatu gambaran yang lebih primitif daripada mata yang tidak dapat dibentuk dengan kebetulan, sangatlah jelas bahwa mata dan gambaran yang dilihat oleh mata tidak dapat dibentuk dengan kebetulan pula.

Situasi yang sama juga berlaku pada telinga. Bagian luar telinga menangkap suara yang tersedia dengan menggunakan daun telinga dan mengarahkannya ke bagian tengah telinga; bagian tengah telinga mentransmisikan getaran-getaran suara dengan mengintensifkannya; telinga bagian dalam mengirimkan getaran-getaran ini ke otak dengan menerjemahkannya ke dalam signal-signal elektrik. Sebagaimana mata, aksi pendengaran berakhir di pusat pendengaran yang ada di dalam otak.

Situasi yang terjadi pada mata juga berlaku bagi telinga, yaitu otak diisolasi dari suara seperti halnya terisolasi dari cahaya: otak tidak memperbolehkan sedikit pun suara masuk. Karena itu, bagaimana ributnya kondisi di luar, bagian dalam otak tetap benar-benar sunyi. Walaupun demikian, cahaya yang paling tajam dipersepsikan dalam otak. Dalam otak Anda, yang terisolasi dari suara, Anda menyimak simfoni dari suatu orkestra dan mendengarkan semua suara di tempat yang ramai. Akan tetapi, jika level suara dalam otak Anda diukur dengan suatu alat yang peka pada satu waktu, akan terlihat bahwa kesunyian yang benar-benar hening akan muncul di sana.

Sebagaimana halnya dengan gambaran, berpuluh-puluh tahun usaha telah dilakukan dalam rangka menghasilkan dan mereproduksi suara yang benar-benar asli. Hasil dari usaha-usaha ini adalah rekaman suara, sistem rekaman yang teliti dan murni, dan sistem untuk menangkap suara. Walaupun semua teknologi ini dan beribu-ribu insinyur serta para ahli telah bekerja pada usaha ini, tidak sedikit pun suara buatan yang mempunyai persamaan dalam ketajaman dan kejernihan dengan suara yang dipersepsikan oleh telinga. Pikirkanlah tentang sistem HI-FI yang berkualitas paling tinggi yang dihasilkan oleh perusahaan terbesar dalam industri musik. Bahkan, pada alat-alat ini, ketika suara direkam, beberapa suara ada yang hilang; atau ketika Anda menyalakan HI-FI, Anda selalu mendengar suara mendesis sebelum musik dimulai. Akan tetapi, suara yang dihasilkan oleh teknologi yang terdapat di tubuh manusia sangat tajam dan jernih. Telinga seorang manusia tidak pernah mempersepsikan satu suara dengan disertai suara mendesis atau udara sebagaimana yang terjadi pada HI-FI; telinga mempersepsikan suara secara nyata, tajam, dan jernih. Ini adalah peristiwa yang telah berlaku sejak awal penciptaan manusia. Sejauh ini, tidak ada daya lihat atau alat rekaman yang dihasilkan oleh manusia yang sensitif dan berhasil mempersepsikan data-data sensori sebagaimana yang dilakukan oleh mata dan telinga.

Akan tetapi, sejauh penglihatan dan pendengaran dipusatkan, sejauh itu pula fakta yang lebih besar terbentang di balik semua itu.

Kepunyaan Siapa Kesadaran Yang Melihat Dan Mendengar Dalam Otak?

Siapakah dia yang melihat dunia yang memikat dalam otaknya, menyimak simfoni dan kicauan burung, serta mencium harum bunga mawar?

Stimulasi yang berasal dari mata, telinga, dan hidung seorang manusia melakukan perjalanan menuju otak sebagai gelombang syaraf kimia-elektro. Dalam buku-buku biologi, psikologi, dan biokimia, Anda menemukan berbagai detail tentang bagaimana gambaran ini terbentuk dalam otak. Akan tetapi, Anda tidak akan pernah sampai pada fakta yang paling penting tentang bahasan ini: siapakah dia yang mempersepsikan syaraf-syaraf kimia-elektro ini untuk bergerak sebagai gambaran, suara, bau-bauan, dan peristiwa-peristiwa sensori lainnya dalam otak? Ada satu kesadaran dalam otak yang mempersepsikan semua ini tanpa merasa memerlukan mata, telinga, dan hidung. Kepunyaan siapakah kesadaran ini? Tidak diragukan lagi bahwa kesadaran ini bukanlah kepunyaan urat syaraf, lempengan lemak, dan syaraf-syaraf yang menyusun otak. Inilah mengapa para Darwinis-Materialis, yang meyakini bahwa segala sesuatu tersusun dari benda atau materi, tidak dapat memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini.

Karena kesadaran ini adalah roh yang diciptakan oleh Allah. Roh tidaklah membutuhkan mata untuk melihat gambaran, tidak juga membutuhkan telinga untuk mendengarkan suara. Selain itu, dia tidak juga membutuhkan otak untuk berpikir.

Setiap orang yang membaca fakta eksplisit dan saintifik ini seharusnya merenungkan kekuasaan Allah, merasa takut kepada-Nya, dan bertawakal kepada-Nya; Dia Yang Menguasai seluruh alam di tempat yang gelap gulita dari setiap sentimeter kubik dalam bentuk yang tiga dimensi, berwarna, berbayang-bayang, dan benderang.

Keyakinan Materialis

Informasi yang telah kita presentasikan sejauh ini menunjukkan kepada kita bahwa teori evolusi adalah suatu klaim yang terbukti tidak sesuai dengan temuan-temuan saintifik. Klaim teori tersebut tentang asal kehidupan adalah tidak konsisten dengan sains, mekanisme evolusionernya tidak mempunyai kekuatan evolusioner, dan fosil-fosil menunjukkan bahwa bentuk-bentuk transisi yang dimiliki oleh teori tersebut tidak pernah eksis. Karenanya, jelaslah bahwa teori evolusi seharusnya disingkirkan sebagai suatu ide yang tidak saintifik. Ini adalah seperti ide bahwa alam semesta itu berpusat pada bumi (geosentris), yang telah dikeluarkan dari agenda sains sepanjang sejarah.

Akan tetapi, teori evolusi tetap dipertahankan dalam agenda sains. Bahkan, beberapa orang yang telah mencoba mempresentasikan kekritisannya terhadap teori tersebut dianggap sebagai suatu “serangan terhadap sains”. Mengapa?

Alasannya adalah bahwa teori evolusi merupakan suatu keyakinan dogmatik yang sangat diperlukan oleh beberapa kalangan. Kalangan ini secara membabi buta mengikuti filosofi dan mengadopsi Darwinisme karena hanya keterangan materialislah yang dapat mengemukakan karya-karya alam.

Yang cukup menarik, mereka juga mengakui fakta ini dari waktu ke waktu. Seorang ahli genetika terkenal dan seorang evolusionis yang termasyhur, Richard C. Lewontin, dari Harvard University, mengakui bahwa dia adalah “seorang materialis yang pertama dan utama dan kemudian adalah seorang saintis”,

“Bukanlah metode dan institusi sains yang menyebabkan kita menerima suatu keterangan materialis tentang fenomena dunia, tetapi sebaliknya, yang memaksa kami untuk memprioritaskan untuk mengikuti materialis adalah karena untuk menciptakan suatu alat investigasi dan serangkaian konsep yang menghasilkan keterangan-keterangan material, tidak peduli bagaimana mencegah intuisi, tidak peduli bagaimana membingungkannya terhadap sesuatu yang tidak dikenal. Selain itu, materialisme adalah mutlak sehingga kami tidak dapat membiarkan Kaki Tuhan berada di ambang pintu.” 20

Ini adalah pernyataan eksplisit bahwa Darwinisme adalah satu dogma yang tetap dipertahankan hidup hanya demi para pengikut filosofi materialis. Dogma ini menerangkan bahwa tidak ada sesuatu yang selamat. Karena itu, ia berpendapat bahwa benda mati dan tidak sadar telah menciptakan kehidupan. Ia bersikukuh bahwa jutaan species makhluk hidup, misalnya burung, ikan, jerapah, harimau, serangga, pohon, bunga, ikan paus, dan manusia, ada sebagai hasil dari interaksi antara benda, seperti turunnya hujan, cahaya petir, dan sebagainya, yang berasal dari benda mati. Ini merupakan suatu konsep yang bertentangan baik dengan akal maupun sains. Akan tetapi, para Darwinis terus mempertahankannya hanya karena “tidak dapat membiarkan Kaki Tuhan berada di ambang pintu”.

Siapa pun yang tidak memperhatikan asal makhluk hidup dengan prasangka materialis akan melihat kebenaran yang hakiki ini: semua makhluk hidup adalah Mahakarya dari Sang Pencipta, Yang Mahakuasa, Mahabijaksana, dan Maha Mengetahui. Sang Maha Pencipta itu adalah Allah, Yang telah menciptakan seluruh alam semesta dari ketidakadaan, mendesainnya dengan bentuk yang paling sempurna, dan membentuk semua makhluk hidup.

Kepada Para Pembaca

Alasan mengapa satu judul khusus disusun untuk meruntuhkan teori evolusi adalah bahwa teori ini menjadi dasar dari filosofi anti-Tuhan. Ini karena Darwinisme telah menolak fakta penciptaan, yang juga berarti menolak eksistensi Allah, selama 140 tahun terakhir, yang menyebabkan banyak manusia mengabaikan keimanannya atau menjadi ragu. Karena itu, menunjukkan bahwa teori ini adalah suatu penipuan merupakan satu tugas yang mahapenting, yang berhubungan erat dengan masalah agama. Disarankan bagi setiap orang untuk menyumbangkan pelayanan yang sangat penting ini. Beberapa pembaca mungkin hanya akan menangkap peluang membaca satu buku. Karena itu, kami pikir, adalah penting untuk meluangkan satu judul yang membahas secara ringkas tentang masalah ini.

Dalam semua buku yang dikarang oleh Penulis, isu-isu yang berhubungan dengan masalah keimanan diterangkan dengan penjelasan ayat-ayat Al-Qur`an dan orang-orang diundang untuk mengkaji firman-firman Allah dan untuk hidup dengan bimbingannya. Semua bahasan yang berkaitan dengan ayat-ayat Allah diterangkan sedemikian rupa sehinga tidak menyediakan sedikit pun kesempatan untuk ragu-ragu atau bertanya-tanya di benak para pembaca. Gaya yang tulus, gamblang, dan jernih menanamkan keyakinan bahwa setiap orang dengan segala usia dan dari setiap kelompok sosial mana pun dapat dengan mudah memahami buku-buku tersebut. Narasi yang efektif dan jelas menyebabkannya mungkin untuk dibaca di saat sendiri. Bahkan, mereka yang menolak secara keras, secara spiritual ia terpengaruh oleh fakta-fakta yang diterangkan dalam buku-buku ini dan tidak dapat mengelak akan kebenaran isinya.

Buku ini dan karya-karya lain dari Pengarang dapat dibaca secara individu atau diskusi dalam kelompok pada waktu berbincang-bincang. Para pembaca yang mengharapkan keuntungan dari buku ini akan mendapatkan bahasan yang sangat bermanfaat dalam artian mereka akan dapat saling menghubungkan refleksi dan pengalaman yang mereka miliki.

Selain itu, adalah suatu pengabdian yang besar bagi agama untuk menyumbangsihkan presentasi dan bacaan berupa buku-buku ini, yang ditulis semata-mata untuk mencari keridhaan Allah. Seluruh buku karya Penulis sangatlah meyakinkan. Karena alasan inilah, bagi mereka yang menginginkan untuk mengomunikasikan agama kepada orang lain, salah satu metode yang efektif adalah dengan memotivasi mereka agar membaca buku-buku ini.

Diharapkan, pembaca akan meluangkan waktu untuk melihat lebih jauh ikhtisar dari buku-buku lainnya di halaman akhir dari buku ini dan mengapresiasi sumber materi yang kaya tentang isu-isu yang berkaitan dengan masalah keimanan, yang sangat berguna dan menyenangkan untuk dibaca.

Dalam buku-buku ini, Anda tidak hanya menemukan, sebagaimana buku-buku lainnya, pandangan personal dari Penulis, tetapi juga keterangan yang didasarkan pada sumber-sumber yang tidak meragukan, gaya yang mengetengahkan rasa hormat dan takzim terhadap bahasan yang suci, tanpa putus asa dan tidak menciptakan keraguan, serta tidak menyebabkan rasa pesimis yang menciptakan beragam penyimpangan dalam hati.

 

Catatan

1 Hugh Ross, The Fingerprint of God, hlm. 50.

2 Sidney Fox, Klaus Dose, Molecular Evolution and The Origin of Life, (New York: Marcel Dekker, 1977). hlm. 50.

3 Alexander I. Oparin, Origin of Life, (New York: Dover Publication, 1936, 1953 [Reprint]), hlm. 196.

4 “New Evidence on Evolution of Early Atmosphere and Life”, Bulletin of the American Meteorological Society, vol. 63, November 1982, hlm. 1328-1330.

5 Stanley Miller, Molecular Evolution of Life: Current Status of the Prebiotic Synthesis of Small Molecules, (1986) hlm. 7.

6 Jeffrey Bada, Earth, Februari 1998, hlm. 40.

7 Leslie E. Orgel, “The Origin of Life on Earth”, Scientific American, vol. 271, Oktober 1994, hlm. 78.

8 Charles Darwin, The Origin of Species: A Facsimile of the First Edition, (Harvard University Press, 1964), hlm. 189.

9 Charles Darwin, The Origin of Species: A Facsimile of the First Edition, (Harvard University Press, 1964), hlm. 184.

10 B.G. Ranganathan, Origin?, (Pennsylvania: The Banner Of Truth Trust, 1988).

11 Charles Darwin, The Origin of Species: A Facsimile of the First Edition, (Harvard University Press, 1964), hlm. 179.

12 Derek A. Ager, “The Nature of the Fossil Records”, Proceedings of the British Geological Association”, vol. 87, 1976, hlm. 133.

13 Douglas J. Futuyma, Science on Trial, (New York: Pantheon Books, 1983), hlm. 197.

14 Solly Zuckerman, Beyond The Ivory Tower, (New York: Toplinger Publications, 1970), ss, 75-94; Charles E. Oxnard, “The Place of Australopithecines in Human Evolution: Grounds for Doubt,” Nature, vol. 258, hlm. 389.

15 J. Rennie, “Darwin’s Current Bulldog: Ernst Mayr”, Scientific American, Desember 1992.

16 Alan Walker, Science, vol. 207, 1980, hlm. 1103; A.J. Kelso, Physical Antropology, edisi pertama, New York: J.B. Lipincott Co., 1970, hlm. 221; M.D. Leakey, Olduvay Gorge, vol.3, Cambridge: Cambridge University Press, 1971, hlm. 272.

17 Time, November 1996.

18 S.J. Gould, Natural History, vol. 85, 1976, hlm. 30.

19 Solly Zuckerman, Beyond The Ivory Tower, (New York: Toplinger Publications, 1970), hlm. 19.

20 Richard Lewontin, “ The Demon-Haunted World”, The New York Review of Booka, 9 Januari 1997, hlm. 28.