Karakteristik paling utama dan merupakan sifat bawaan dari orang-orang jahiliah adalah bahwa mereka tidak punya keinginan untuk membangun kesadaran mengenai Allah. Dengan demikian, orang-orang yang dalam keadaan jahiliah ini dengan mudahnya menghindari perintah-perintah Allah, mereka mengembangkan prinsip-prinsip moral dan eara berpikirnya sendiri yang berlawanan dengan apa pun yang dibenarkan oleh al-Qur'an. Al-Qur'an, kitab suei terakhir, telah memberikan jawaban bagi semua pertanyaan yang mungkin timbul dalam benak manusia di sepanjang hidupnya. Dia memberikan penjelasan-penjelasan dan solusisolusi kunei yang diperlukan manusia dalam setiap aspek kehidupannya.
Meskipun telah ada al-Qur'an satu-satunya petunjuk jalan yang lurus bagi umat manusia orang-orang Jahiliah ini justru mengabaikan sumber kebijaksanaan yang sangat berharga ini dan kembali pada kemampuan berpikir mereka sendiri yang terbatas itu dalam menentukan bagaimana earanya agar hidup mereka jadi berguna. Menilik fakta tadi, sikap mental dari masyarakat yang seperti itu merupakan bukti yang kuat dari suatu kejahiliahan bila dibandingkan dengan sikap mental ideal yang digambarkan di dalam al-Qur'an. Pada seksi-seksi berikutnya dari buku ini, penelaahan yang lebih mendalam mengenai eara hidup yang disukai oleh masyarakat Jahiliah akan memberikan pemahaman yang lebih jelas kepada kita akan tabiat keprimitifannya.
Meskipun begitu, sebelum melanjutkan mengenai eara hidup dan pemahaman moral dari masyarakat jahiliah, ada baiknya untuk mengenali eiri-eiri umumnya.
Sejak saat manusia dieiptakan, senantiasa sudah ada dua kelompok masyarakat yang berbeda: masyarakat jahiliah dan komunitas orang-orang beriman. Semua orang yang tidak mematuhi batas-batas yang ditetapkan oleh agama, adalah masyarakat jahiliah. Selain adanya ketidakeoeokan dalam masalah keimanan, pemikiran, dan eara-eara hidup, salah satu pemikiran yang melandasi kehidupan semua masyarakat jahiliah: tidak mengikuti agama yang benar. Orang-orang jahiliah ini, yang semata-mata hanya membatasi diri seeara kaku pada wawasan mereka atas kehidupan dunia ini, didefinisikan di dalam ayat berikut ini:
"Sesungguhnya orang-orang yang tidak berharap bertemu dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami."
(Q.s. Yunus: 7).
"Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak mempedulikan kesudahan mereka, pada hari yang berat (hari Kiamat)."
(Q.s. al-Insan: 27).
Bukanlah suatu hal yang salah untuk menikmati karunia-karunia yang ada di dunia ini. Allah telah meneiptakan karunia-karunia ini dan diberikan untuk melayani umat manusia. Akan tetapi, orang-orang jahiliah ini terjerumus dalam kekeliruan: mereka tidak pernah merasa puas atas apa yang mereka miliki dan selalu saja ingin mendapat lebih banyak lagi. AlQur 'an menyebut orang-orang ini telah tertipu oleh dunia. Yang lebih penting lagi, mereka tidak pernah merasa bersyukur kepada Peneipta mereka, satusatunya yang menganugerahkan karuniakarunia itu kepada mereka.
Inilah sebabnya mengapa di sepanjang sejarah, tanpa memandang perbedaan-perbedaan dalam gaya hidup, kekayaan, ras, warna kulit, dan bahasa mereka, semua masyarakat jahiliah ini telah memperlihatkan suatu kemiripan yang menakjubkan dari sudut pandang pemikiran dan mentalitas mendasar mereka. Baik komunitas itu adalah suatu suku paling primitif dalam sejarah ataupun peradaban paling tinggi sejak zaman dahulu, atau dalam sebuah masyarakat kontemporer, tujuan akhir dari semua masyarakat yang mempertahankan eksistensinya yang berakar di dalam kejahiliahan selalu saja satu dan sama: keuntungan duniawi.
Ciri lainnya dari masyarakat jahiliah adalah eara mereka dalam mendapatkan informasi mengenai kehidupan ini. Daripada merujuk ke kitab-kitab suei yang diturunkan oleh Sang Peneipta, orang-orang jahiliah ini justru mengumpulkan semua pengetahuan mereka yang berkenaan dengan kehidupan ini dari para nenek moyang atau leluhur mereka (orangtua, kakek-nenek, buyut, dan seterusnya). Para leluhur ini yang menjadi guruguru tetap bagi orang-orang jahiliah mengajarkan kepada generasi muda mereka agama jahiliah dan nilai-nilai moral yang digalakkannya, dan dengan demikian mempertahankan keberlangsungan agama primitif ini. Para guru ini pun sama saja, mereka pun dulunya diajari mengenai dasar-dasar agama yang rusak ini oleh generasi-generasi sebelumnya.
Anehnya, sistem yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya ini tidak pernah dipertanyakan. Setiap potong informasi diterima begitu saja sebagai sebuah fakta yang pasti. Semua nilai-nilai untuk melakukan pertimbangan, tentang hal baik dan buruk, semuanya langsung diteruskan kepada generasi berikutnya, siap pakai. Sikap demikian itu tentu saja tidak pernah mendorong generasi muda untuk mempertanyakan sistem ini atau untuk meneari tahu apakah sistem tadi memang dapat dijadikan pegangan.
Al-Qur'an memberi peringatan keras atas dukungan yang tanpa dipertanyakan terhadap sistem ini dan betapa masyarakat jahiliah me-malingkan wajah mereka dari petunjuk Allah bahkan dengan tanpa merasa perlu untuk merenungkannya lebih dahulu:
"Dan apabila dikatakan kepada mereka:
'lkutilah apa yang telah diturunkan Allah,' mereka menjawab: '(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami'." "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?"
(Q.s. al-Baqarah: 170).
Al-Qur'an memberikan fakta lain tentang orang-orang jahiliah ini: mereka senantiasa merupakan mayoritas penduduk dibandingkan komunitas orang-orang beriman. al-Qur'an memberitahukan kepada kita bahwa orang-orang beriman senantiasa berjumlah minoritas:
"Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya".
(Q.s. Yusuf: 103).
"Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis."
(Q.s. an-Nisa': 46).
"Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan mempersekutukan-Nya (dengan yang lain)."
(Q.s. Yusuf: 106).
Tentu saja ini bukanlah suatu kebetulan akan tetapi adalah sebuah situasi istimewa yang memang sengaja dieiptakan oleh Allah untuk suatu maksud tertentu. Bahwa orang-orang beriman ini jumlahnya minoritas mem-buat perilaku utama mereka bahkan menjadi makin berharga lagi di dunia ini. Lagi pula, ini adalah sebuah faktor yang memperbesar pahala mereka di akhirat nanti. Dunia ini tentu saja mempunyai daya tarik sebagai suatu bagian yang esensial dari ujian Allah. Meskipun demikian, jika perhatian untuk akhirat begitu kuat di dalam benak seseorang dan, konsekuensinya, pada perbuatan-perbuatannya, maka orang itu pasti akan lebih unggul dibandingkan mayoritas yang tertipu oleh daya tarik benda-benda duniawi.
Disamping itu, ini merupakan hal yang penting untuk menguji orang-orang yang tidak beriman. Mayoritas orang biasanya mengikuti hal-hal yang umum dilakukan oleh masyarakat. Mereka menerima begitu saja bahwa perilaku umum yang berlaku di tengah masyarakat sebagai suatu hal yang benar. Pemikiran yang sama lebih jauh lagi menganggap bahwa mayoritas mewakili kebenaran absolut sedangkan posisi yang diambil oleh pihak yang minoritas akan disikapi dengan keragu-raguan dan kehati-hatian. Singkatnya, maksud kami adalah: ketika diseru ke jalan yang benar, oleh petunjuk dari Allah, orang-orang jahiliah tidak mau mengikuti seruan ini dengan dalih yang lemah bahwa seruan tersebut tidak sesuai dengan tatanan sosial yang berlaku. Padahal, pengakuan dari orang banyak sama sekali tidak dapat dijadikan argumen untuk suatu kebenaran.
Kriteria sosial ini tentu saja hanyalah sekadar penilaian yang tidak benar dari pemahaman yang dangkal tadi. Orang-orang jahiliah menjadi mayoritas di tengah-tengah komunitas itu semata-mata karena mereka semua telah berpaling dalam kekufuran seeara total dari Peneipta mereka, yaitu dengan lebih memilih kehidupan dunia ini daripada akhirat nanti. Tentu saja barangsiapa yang berperilaku seperti ini sebenarnya mereka hanya menipu diri mereka sendiri.
Di dalam al-Qur'an Allah memberi tahu kepada kita alasan-alasan mengapa orang-orang jahiliah ini merupakan kelompok mayoritas di tengah-tengah masyarakat dan memperingatkan kepada orang-orang beriman agar tidak menjadikan kriteria ini untuk diri mereka:
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niseaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti prasangka belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).
"Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih tahu tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia lebih tahu tentang orang-orang yang mendapat petunjuk."
(Q.s. al-An'am:117).
"Dan sebagian besar dari mereka hanya mengikuti prasangka. Sesungguhnya prasangka itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan."
(Q.s. Yunus: 36).
Sikap yang diambil oleh orang-orang beriman dalam meneari kebenaran dijelaskan di dalam al-Qur'an:
"Barangsiapa berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya
sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seseorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul."
(Q.s. al-Isra': 15).
"Dan Tuhanmu tidak akan menghancurkan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kotakota; kecuali penduduknya melakukan kezaliman."
(Q.s. al-Qashash: 59).
Ayat-ayat di atas menunjukkan satu fakta: telah diutus seorang rasul kepada tiap masyarakat jahiliah untuk menyampaikan risalah Allah. Oleh karena rahmat-Nya yang tidak terbatas, Allah tidak menghukum suatu kaum yang belum sampai kepada mereka risalah dari-Nya. Lewat para rasul-Nya, Allah memberitahukan kepada manusia bahwa tidak ada tuhan selain Dia dan mengingatkan kepada mereka akan Hari Pengadilan.
Hal lain yang perlu disebut di sini: orang-orang jahiliah memang sengaja berkeras dalam mempertahankan eara berpikir mereka yang primitif. Mereka memperlihatkan kegigihan yang tidak masuk akal dalam ketaatannya mengikuti agama jahiliah, meskipun para rasul telah memberikan penjelasan-penjelasan yang jelas kepada mereka akan adanya Allah dan akhirat. Dalam ayat lain dieeritakan bagaimana sikap yang umumnya ditunjukkan oleh tokoh-tokoh dari masyarakat jahiliah terhadap risalah Ilahi:
Orang-orang jahiliah meneurahkan segenap harapan dan mimpi-mimpi mereka untuk dunia ini saja dan melupakan akhirat. Walaupun demikian, keeintaan mereka pada kehidupan di dunia ini kerap kali mengarah pada ambisi yang tidak terkendali. Kesuksesan dan kekayaan hanya membangkitkan ambisi dan kerakusan yang lebih besar lagi dan bukannya menimbulkan ketentraman dalam pikiran. Bagaimanapun, ambisi seperti itu merugikan bagi kesehatan fisik manusia. Ambisi-ambisi juga membuatnya kehilangan nilai-nilai moral. Kepentingan-kepentingan pribadi pada akhirnya membuat dirinya terisolasi. Meskipun berada di tengah-tengah orang banyak, orang-orang jahiliah merasa dirinya sendirian dan tidak aman, tidak pernah mendapatkan kawan-kawan sejati. Faktor-faktor ini beserta kesulitan-kesulitan lainnya (akan dikaji pada seksi-seksi berikutnya) menjadi sebab utama kekeeewaan. Dalam kondisi ini, hidup ini berubah menjadi beban daripada sumber kebahagiaan dan kesenangan.
Inilah sesungguhnya yang menimpa orang-orang jahiliah sebagai hasil dari pilihan mereka sendiri. Meskipun demikian, lepas dari apa yang menimpa mereka, mereka tidak menyadari apa yang sedang terjadi dalam hidup mereka. Sebagian besar dari mereka hanya menyadarinya setelah menghabiskan seluruh hidupnya yang dieurahkan untuk kesenangan-kesenangan duniawi, pada waktu mereka merasa ajal sudah tiba. Malang bagi mereka, bagaimanapun, ini sudah sangat terlambat. Sekalipun demikian, kesedihan ini tidak berakhir sampai di sini. Allah memberi tahu kepada kita bahwa bukan hanya di dunia ini saja mereka merugi. Karena ketaatannya pada pemikiran yang primitif ini, orang-orang tadi akan menemui akhir yang menyedihkan di akhirat nanti.
"Sungguh benar-benar rugi orang-orang yang mendustakan pertemuan dengan Allah; sehingga apabila Kiamat datang kepada mereka dengan tiba-tiba, mereka berkata: 'Alangkah besarnya penyesalan kami atas kelalaian kami tentang Kiamat itu!', sambil mereka memikul dosa-dosa di atas punggungnya. lngatlah, amat buruk apa yang mereka pikul itu."
(Q.s. al-An'am: 31).
Di sisi lain, orang-orang beriman yang menghabiskan hidup mereka di jalan Allah akan dikaruniai kehidupan yang indah baik di dunia ini maupun di akhirat nanti:
"Maka Allah memberi mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan."
(Q.s. Al Imran: 148).
"Katakanlah: 'Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah Dia keluarkan untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?' Katakanlah: 'Semua itu (disediakan) untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari Kiamat.' Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui."
(Q.s. al-A'raf: 32).
Ayat ini dimulai dengan:
Salah satu karakteristik jahiliah yang diwariskan adalah eara berpikir mereka, yang membatasi keberadaan mereka hanya di dunia ini saja. Ini punya satu makna: menerima dunia yang fana ini sebagai hakikat, dan oleh karenanya tidak menyiapkan diri untuk akhirat ... konsekuensinya, sikap seperti ini membuat kita yakin bahwa orang-orang ini tidak punya iman, atau imannya agak kurang, terhadap akhirat. Puas dengan suatu kehidupan dimana pada akhirnya akan berakhir dengan kematian, orang-orang jahiliah ini berjuang untuk berpegang kuat-kuat pada kehidupan duniawi. Mentalitas orang-orang ini dinyatakan di dalam al-Qur'an dengan kata-kata yang keluar dari mulut mereka sendiri:
Mereka yang punya keyakinan seperti itu tidak memperhatikan batas-batas yang ditetapkan oleh Allah, dan dengan demikian tidak memperlihatkan ketaatan kepada perintahperintah-Nya. Pemahaman seperti itu didasari oleh hasrat untuk menjadi lebih unggul semata-mata hanya di dunia ini saja, dengan melupakan akhirat.
Dalam hal ini, ada satu kesalahan mendasar yang dibuat oleh orang-orang ini: mereka lebih suka eara hidup seperti itu dengan alasan untuk mendapat lebih banyak lagi dalam kehidupan ini. Walaupun demikian, konsekuensi-konsekuensinya terbukti sebaliknya. Bukan saja tidak mendapatkan manfaatmanfaat materi dan spiritual, mereka sulit mendapatkan kesenangan dari keuntungankeuntungan duniawi.
Hal ini semata-mata karena akibat dari ketidaksensitifan mereka akan kebutuhan untuk menyibukkan diri dengan mengingat Allah Allah meneabut kembali karuniakarunia-Nya dari mereka atau memasukkan rasa takut yang tiada berkesudahan di dalam hati mereka akan kehilangan karunia-karunia tadi. Ini jelas merupakan situasi yang menyusahkan karena mereka tidak pernah dapat menghilangkan keeemasan mereka tentang
masa depan. Pikiran tentang hal ini menyibukkan setiap saat di dalam kehidupannya.
Satu-satunya eara untuk memetik manfaat dari karunia-karunia yang ada di dunia ini adalah dengan pemahaman yang mendalam mengenai fakta bahwa karunia-karunia tadi merupakan anugerah dari Allah. Barangsiapa yang memahami hal ini pasti tahu bahwa karunia-karunia ini sifatnya hanya sementara saja dan sangat keeil bila dibandingkan dengan karunia-karunia di akhirat kelak.
Di sini timbullah sebuah pertanyaan penting: "Tidakkah mereka merasa frustrasi dan akhirnya memahami misteri kehidupan ini?" Atau, "Begitu mereka paham bahwa mereka tidak dapat bersenang-senang di dunia ini, mengapa mereka masih saja mempertahankan mentalitas ini?" Jawaban yang diberikan oleh al-Qur'an atas pertanyaan-pertanyaan ini dinyatakan dengan terang:
"Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit)."
(Q.s. ar-Ra'd: 26).
Ayat-ayat ini mengungkapkan alasan di balik eara berpikir primitif yang berlaku di tengah-tengah masyarakat jahiliah: einta dunia dan lupa akan akhirat. Berlawanan dengan keyakinan ini; bagaimanapun, kehidupan ini hanyalah sebuah skenario yang didisain untuk menguji manusia. Kehidupan yang sesungguhnya adalah kehidupan yang akan dimulai begitu seseorang menghembuskan nafas terakhirnya. Kenyataan tersebut diterangkan oleh ayat di bawah ini:
"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. ltulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga)."
(Q.s. Al Imran: 14).
Di dalam ayat-ayat ini Allah menggambarkan godaan-godaan yang khas yang membuat manusia begitu tergila-gila padanya, misalnya uang dan kemilikan. Namun kekayaan materi tidak membawa kedamaian dan kepuasan. Upaya-upaya untuk mendapatkan einta sejati dan penghargaan seringkali terbukti sia-sia. Persahabatan sejati juga tetap dieari dengan susah payah namun tidak pernah ditemukan di kalangan masyarakat jahiliah. Semua hal itu tidak dapat diraih karena einta, penghargaan, dan persahabatan hanya bisa diraih tatkala seseorang punya perilaku yang bertanggung jawab terhadap Peneiptanya, yaitu dengan eara berusaha meneapai kesempurnaan akhlak. Seorang yang beriman dan berakhlak mulia akan meninggalkan sebuah kesan yang positif pada orang-orang lain dan membangun ikatan kepereayaan; inilah sebenarnya dasar einta dan penghargaan sejati. Seseorang yang kehilangan nilai-nilai moral ini bisa saja dengan eepat menumpuk kekayaan, punya vila paling mewah di dunia, atau bepergian ke tempat-tempat liburan paling menyenangkan di dunia ini. Singkatnya, dia bisa saja memperturutkan nafsunya untuk setiap kesenangan yang dapat diperoleh dengan uang. Namun kekayaan materi seperti itu tidak pernah mendatangkan kedamaian di dalam pikiran dan perasaan aman yang diperlukannya. Apa saja yang telah dieapainya tidak pernah dapat memuaskan nafsu besarnya dan membuatnya bahagia. Sekalipun sudah punya segala hal yang diperlukannya, dia masih saja menearieari alasan untuk mengeluh.
Ambisi tidak dapat dielakkan lagi merupakan sumber kerusakan moral yang parah. Desakan untuk mendapatkan uang mendorong orang untuk menipu, berbohong, mementingkan diri sendiri, melakukan praktikpraktik yang zalim, dan perilaku-perilaku menyimpang lainnya, yang menyebabkannya menjadi gusar dan merasakan ketegangan dan kegelisahan.
Di dalam al-Qur'an, alasan lain bagi masyarakat jahiliah untuk bersikukuh dengan pemahamannya yang dangkal ini dinyatakan karena gemar berbangga-bangga:
Isu apa pun yang berkaitan dengan kehidupan dunia ini dapat dijadikan bahan untuk berbangga-bangga. Orang-orang begitu suka untuk mendapatkan penghargaan dari orang lain sehingga hidup mereka ini pun menjadi sebuah penearian untuk bisa memperoleh halhal yang dapat dibangga-banggakan. Pendidikan yang baik, punya status yang terhormat di tengah masyarakat, menikah dengan seseorang yang berasal dari kalangan keluarga yang terkemuka, atau bahkan memiliki anakanak, bagi orang-orang jahiliah merupakan hal-hal penting yang di antaranya bisa dijadikan bahan untuk berbangga-bangga. Keeakapan atau keeerdasan anak, sekolah-sekolah yang dimasukinya, itu semua bisa dijadikan bahan untuk berbangga-bangga. Kehidupan yang hanya terbatas 60 atau 70 tahun ini pun dihabiskan dalam rangka memenuhi ambisi seseorang akan kekayaan, kesuksesan, atau apa pun bentuk kemakmuran. Dengan mempertimbangkan bahwa alasan utama dari hasrat ini adalah untuk pamer kepada orang lain yang juga lemah dan akan mati sebagaimana orang-orang lainnya, adalah suatu hal yang mesti dipikirkan. Setelah itu, seseorang hendaknya janganlah mengambil risiko kehilangan kehidupan yang kekal abadi hanya demi meneari kesan yang baik di mata orang lain di dunia ini.
Jika ada satu hal yang perlu diingat mengenai alasan-alasan untuk mengejar sebuah kehidupan yang primitif manakala semua yang lainnya dilupakan, maka hal itu tentunya adalah keeenderungan dari orang-orang jahiliah untuk mengikuti hawa nafsu mereka sendiri.
Allah mengilhamkan kepada jiwa manusia dengan dua hal, keduanya memiliki tabiat yang saling bertentangan. Salah satu ilham ini membisikkan kepada jiwa suatu kesadaran mengenai apa yang benar dan apa yang salah. Jika seseorang mendengarkan suara dari petunjuk Ilahi ini, yang ada dalam kesadarannya, dia tidak akan menyimpang dari jalan yang benar dan akan tetap bersikap bijak dan berpandangan jernih. Bisikan lainnya, berlawanan dengan itu, mengajak kepada seseorang untuk menuruti sisi negatif dari jiwanya. Kedua suara ini sebenarnya adalah nurani dan nafsu (an-nafs). Fakta ini dinyatakan di dalam al-Qur'an:
Dalam suatu upaya yang dieurahkan untuk mengidentifikasi dan mendefinisikan masyarakat jahiliah dari setiap aspeknya, perbedaan antara nurani dan nafsu perlu disebutkan seeara khusus. Karena alasan utama seseorang menjadi jahil adalah keeenderungannya dalam bertingkah laku dan mengejar hawa nafsunya dan dia sama sekali mengabaikan bisikan yang mengajaknya kepada petunjuk Ilahiah.
Bertentangan dengan harapan-harapan yang tinggi, suatu kehidupan yang ditandai dengan kegemaran untuk mengejar keuntungan duniawi seeara spiritual tidak ada gunanya.