Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakkal.” (QS Al-Taubah, 9: 51)
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (kadar).“ (QS Al-Qamar, 54: 49) Sebagaimana dikatakan ayat, Allah telah menciptakan semua makhluk, hidup atau mati, dengan takdirnya masing-masing. Takdir yang ditetapkan Allah ini tidak dapat diubah; kebaikan atau keburukan apa pun yang telah ditetapkan sebelumnya tidak dapat dengan cara apa pun dicegah atau disimpangkan oleh siapa pun. Mereka yang beriman sempurna adalah mereka yang sadar bahwa “tidak sesuatu pun dapat menimpa mereka kecuali apa yang telah ditetapkan Allah atas mereka.”
Senyatanya, kenyataan ini merupakan sumber kedamaian yang tak berhingga. Setiap peristiwa di bumi, apakah penting atau sepele, dan dalam segenap rinciannya, direncanakan oleh kecerdasan yang tak berhingga. Karena itu, masing-masing peristiwa berkembang dalam cara yang terkendali, agar memberikan manfaat terbaik bagi para mukmin.
Menyadari bahwa Allah menciptakan setiap peristiwa demi keuntungan agama dan manfaat bagi kehidupan mukmin di hari kemudian, mereka yang beriman sempurna hidup dalam kepasrahan tulus kepada kebijaksanaan abadi Allah dan takdir yang telah ditetapkanNya. Sebagaimana diperjelas ayat “…Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman,” (QS Al-Nisa, 4: 141), semua peristiwa akan berujung dalam cara yang, biar bagaimana pun, berpihak kepada mukmin. “… Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)Nya…” (QS Al-Hajj, 22: 40) karena Allah sahabat dan pelindung kaum mukmin.
Mereka yang beriman sempurna yang mengangkat Allah sebagai Pelindung mereka dan menaruh kepercayaan kepadaNya tidak pernah berputus asa akan pertolongan Allah. Khususnya dalam hal keadaan yang tampak tidak menguntungkan, tidak pernah mereka menyimpang dari kedudukan ini, menyadari ada kebaikan dalam apa pun yang terjadi.
Dunia adalah pentas di mana Allah menempatkan manusia ke dalam cobaan. Kebanyakan manusia menunjukkan kepasrahan kepada Allah dan merasa bersyukur kepadaNya ketika menerima sebentuk kebaikan atau nikmat, mengiranya dianugerahkan kepada mereka olehNya. Namun, saat menyangkut peristiwa tak menyenangkan yang berjalan tidak sesuai dengan keinginan, mereka tiba-tiba kehilangan sikap kepasrahan. Mereka menunjukkan ketakpercayaan dan ketakbersyukuran yang kadang-kadang separah pemberontakan terhadap Allah. Sikap ini dirujuk dalam Qur'an sebagai berikut:
… Apabila Kami merasakan kepada manusia sesuatu rahmat dari Kami, dia bergembira ria karena rahmat itu. Dan jika mereka ditimpa kesusahan disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri (niscaya mereka ingkar).. (QS Al-Syura, 42: 48)
Akan tetapi, mereka yang beriman sempurna telah meresapi rahasia yang diungkapkan oleh ayat, “…Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS Al-Anbiya, 21: 35) Tidak pernah melupakan bahwa setiap peristiwa yang tampak menyenangkan atau menyusahkan diciptakan khusus untuk menguji keimanan, mereka tidak pernah berkurang dalam kepasrahan yang mereka perlihatkan kepada kehendak Allah dan kepercayaan pada Pencipta mereka tidak pernah berkurang. Mereka mengetahui apa pun peristiwa merugikan yang menimpa mereka mungkin, sebenarnya, menghasilkan akibat-akibat yang baik jika menimbang kehidupan selanjutnya, sebab Allah menciptakan setiap peristiwa dengan banyak maksud tersembunyi yang manusia tidak melihatnya. Kenyataan ini terekam dalam satu ayat berikut:
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS Al-Baqarah, 2: 216)
Sebagaimana ditekankan dalam ayat di atas, suatu peristiwa yang awalnya dikira buruk mungkin berakibat baik bagi manusia karena Allah, Pemilik kebijaksanaan yang tak berhingga, telah merencanakan semua peristiwa yang menimpanya. Kebijaksanaan dan kepiawaian berpikir manusia itu terbatas. Karena hal ini, apa yang diharapkan dilakukan manusia adalah memasrahkan diri kepada takdir yang telah ditetapkan Allah dengan kebijaksanaan abadiNya. Itulah apa yang akan memberi manusia manfaat dalam apa pun perkara.
Suatu peristiwa mungkin tampak berjalan tidak menyenangkan; namun, jangan pernah melupakan bahwa itu mungkin sebuah cobaan atas kepasrahan manusia kepada Allah. Peristiwa ini mungkin akan berujung pada nikmat besar suatu waktu. Mereka yang gagal menaruh kepercayaan kepada Allah awalnya melupakan kenyataan ini dan karena itu menderita kerugian besar. Di sisi lain, mereka yang beriman sempurna dan menunjukkan sikap baik, meraih rida Allah dan akhirnya menikmati ganjaran-ganjaran menyenangkan karena itu.
Qur'an memberi kita dengan sejumlah cuplikan kehidupan para nabi, yang menjadi teladan bagi semua manusia dalam hal keimanan sempurna yang mereka perlihatkan. Salah satunya mengenai keadaan yang tampak tanpa harapan dari Nabi Musa AS, yang memimpin kaumnya keluar dari Mesir untuk melarikan diri dari penindasan Firaun. Ketika mereka tiba di pantai, Firaun dan tentaranya hampir menyusul mereka. Keadaan sulit ini, yang tak diragukan mengilhami harapan keselamatan yang tersuram, menjadi cara memisahkan mereka yang melihat kebajikan dalam takdir di setiap keadaan dan mereka yang meragukannya. Dalam Qur'an, Allah menceritakan peristiwa ini sebagai berikut:
Maka Firaun dan bala tentaranya menyusul mereka di waktu matahari terbit. Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: "Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul." Musa menjawab: "Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku." Lalu Kami wahyukan kepada Musa: "Pukullah lautan itu dengan tongkatmu." Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar. Dan di sanalah Kami dekatkan golongan yang lain. Dan Kami selamatkan Musa dan orang-orang yang besertanya semuanya. Dan Kami tenggelamkan golongan yang lain itu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar merupakan suatu tanda yang besar (mukjizat), tetapi kebanyakan mereka tidak beriman. (QS Al-Syu’ara, 26: 60-67)
Sebagaimana diberitahukan ayat ini, sebagian kaum Nabi Musa AS cemas dan berpikir, “Kita pasti akan tersusul.” Akan tetapi, Nabi Musa AS tidak sedikit pun berputus asa. Ia ingat bahwa pertolongan Allah ada di tangannya. Setelah cobaan ini, Allah secara ajaib membelah air laut, meninggalkan lintasan kering di tengahnya, dan membimbing mereka ke pantai seberang. Sementara itu, air tiba-tiba mulai menutup Firaun dan bala tentaranya, yang tanpa berpikir ikut menempuh lintasan yang sama, dan mereka semua tenggelam. Sekali kepasrahan mukmin menjadi jelas, Allah mengubah keadaan buruk menjadi sebuah nikmat yang agung.
Dalam Qur'an, Allah juga mengisahkan kepasrahan Nabi kita SAW pada kehendakNya sebagai teladan:
Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad), maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekkah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua. Di waktu dia berkata kepada temannya: "Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita," maka Allah menurunkan ketenanganNya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS Al-Taubah, 9: 40)
Dalam saat-saat kesulitan, Nabi Muhammad SAW menaruh kepercayaannya kepada Allah dan menghimbau para pengikutnya agar pasrah kepadaNya.
Mereka yang beriman sempurna mengambil perilaku terpuji Nabi SAW sebagai teladan. Tak pernah menyeleweng dari acuan kesempurnaan akhlak ini, mereka menghadapi setiap kesukaran yang mereka temui dengan kata-kata: …"Cukuplah Allah bagiku ." KepadaNyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri. (QS Al-Zumar, 39: 38)