Akhlak Mulia Yang Diganjarkan Iman Yang Sempurna

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. “ (QS Al-Qalam, 68: 4)

Setiap manusia yang sepenuh hati beriman kepada Allah memenuhi semua perintahNya tanpa syarat. Tekad ini memastikan penyusunan sebentuk kesempurnaan akhlak. Penaatan seksama perintah-perintah Qur'an-lah yang menyebabkan kesempurnaan akhlak yang menjadi ciri mereka yang beriman sempurna.

Manusia dapat menggapai semua sifat baik dan terpuji hanya dengan menuruti perintah-perintah Qur'an. Dalam Qur'an, Allah memerintahkan ketakwaan, keadilan, kesabaran, pengorbanan, kesetiaan, pengabdian, penepatan janji, kepasrahan, kerendahhatian, penenggangan, penyayang, pengasih, pengendalian amarah, dan banyak lagi sifat-sifat akhlak. Menunjukkan kesempurnaan akhlak ini sebagaimana disajikan dalam Qur'an bergantung pada ketakutan seseorang kepada Allah dan karena itu mengikuti suara nuraninya. Semakin seseorang takut kepada Allah dan seksama mengikuti apa yang diserukan nuraninya, semakin patuh ia kepada perintah Allah. Akan tetapi, seseorang yang tidak memiliki sifat-sifat ini gagal menunjukkan tanggung jawab untuk hidup dengan akhlak-akhlak Qur'an. Ia mungkin memperlihatkan sebagian sifat-sifat akhlak yang diridai Allah, namun, ketika menghadapi keadaan di mana ia merasa kepentingannya dipertaruhkan, ia mungkin menjadi orang yang sama sekali berbeda.

Keadaan ini nyata menyingkapkan keunggulan mereka yang telah meraih kedewasaan iman. Orang yang beriman sempurna tanpa lelah menunjukkan kesempurnaan akhlak di setiap saat kehidupannya. Kesabaran terbesar, derajat tertinggi pengorbanan dan kepasrahan, cinta terkuat kepada Allah terwujud dalam perilakunya. Sifat-sifat ini membuatnya seorang yang istimewa. Dalam kata-kata Qur'an, ia menjadi “imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Furqan, 25: 74)

Sasaran utama bagi setiap Muslim adalah mencapai kesempurnaan akhlak seperti itu. Menentukan batas-batas bagi diri mendorong manusia berpuas diri, yang merupakan sikap yang harus gigih dihindari manusia. Dalam satu ayat, Allah menekankan bahwa rasa puas diri merupakan kerusakan yang sungguh-sungguh:

Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. Karena dia melihat dirinya serba cukup. (QS Al-Alaq, 96: 6-7)

Karena alasan ini, setiap orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian harus membuat sasaran utamanya adalah hidup dengan nilai-nilai Qur'an dalam cara sebaik mungkin. Hanya orang dengan sasaran semulia itu dapat berharap meraih surga dan berkumpul dengan para nabi, aulia, syuhada, dan mereka yang bertakwa. Allah memberitahu kita bahwa hanya ketaatan yang tegas membuat orang berhasil dalam upaya mulia ini:

Dan barang siapa yang menaati Allah dan rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para nabi, para shiddiqien, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS Al-Nisa, 4: 69)

Di halaman-halaman berikut, kita akan menelaah kesempurnaan akhlak seperti ini yang mana Allah firmankan secara rinci dalam Qur'an, dan kita akan melihat kepatuhan dan gairah besar yang harus ditunjukkan manusia agar berhasil dalam perjuangan ini.

Nurani Mereka Yang Beriman Sempurna

Dari hari manusia dilahirkan, suara yang selalu terus-menerus membisikkan kejahatan mengiringinya. Bisikan ini berasal dari hawa nafsunya. Akan tetapi, di samping suara ini ada suara yang tak mungkin salah yang melarang kejahatan dan membimbingnya ke jalan yang lurus. Suara yang memandu manusia ke kebenaran ini disebut “nurani”. Allah memperkenalkan kepada kita kedua segi diri manusia ini sebagai berikut:

Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaanNya). Maka, Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya, beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya, merugilah orang yang mengotorinya. (QS Al-Syams, 91: 7-10)

Sebagaimana dikatakan dalam ayat di atas, Allah juga mengilhami manusia agar menghindari kejahatan dirinya sendiri. Ilham ini diberikan melalui nurani. Karena itu, nurani adalah, dalam pengertian tertentu, suara Allah yang menghimbau mukmin tentang apa yang baik dan benar. Karena alasan inilah, nurani adalah kunci ke iman yang sempurna.

Mereka yang beriman sempurna terus-menerus menyimak suara ini. Mereka memiliki pemahaman yang amat berbeda tentang nurani dari apa yang dikenal dalam masyarakat. Menolong orang miskin dan lanjut usia atau bersedekah kepada lembaga-lembaga umumnya dianggap sebagai tanda nurani yang baik. Namun, selain contoh-contoh tersebut, nurani diabaikan dari hampir semua bidang kehidupan lainnya; orang-orang umumnya merasa tidak perlu menggunakan nurani mereka dan menjalankan kehidupan menuruti nafsu mereka.

Mereka yang memperhatikan nurani sebagaimana diperintahkan dalam Qur'an hanyalah mereka yang beriman sempurna: sepanjang hidup mereka menyimak nurani untuk semua masalah. Mendekat kepada Allah dan meraih ridaNya menjadi satu-satunya sasaran dalam hidup, apa pun keadaan atau suasananya. Tidak kelelahan, kurang istirahat, atau pun kesibukan sehari-hari menyimpangkan mereka dari mengikuti suara ini. Waktu-waktu tersibuk atau masa-masa susah bukanlah pengecualian; satu peringatan dari nurani cukup bagi mereka untuk segera melihat kebaikan dan berpaling ke sana.

Sebuah contoh akan memperjelas hal ini: bayangkan seorang mukmin yang baru kembali dari perjalanan panjang yang melelahkan; hanya memperoleh beberapa jam tidur, ia kelelahan dan kelaparan. Tepat saat akan beristirahat untuk memulihkan kekuatannya, ia bertemu dengan seseorang yang sedang kesusahan yang meminta pertolongannya. Mukmin ini merasakan tiada keraguan dalam mengenyampingkan semua kebutuhan pribadinya dan bersegera memberikan bantuan. Jika secara lahiriah terlalu lemah menolong sendiri, ia lalu akan mencari seseorang yang akan menggantikannya. Sementara itu, sebagai balasan atas bantuan ini, ia menghindari sikap-sikap yang akan membangkitkan rasa utang budi di diri si orang susah itu; ia tidak merendahkan diri dengan menyebutkan kebutuhannya atau pengorbanan yang telah dibuatnya. Hal itu karena ia telah melakukan semua ini untuk meraih rida Allah. Ia tidak mengharapkan sesuatu sebagai balasan. Sikap orang-orang seperti dia dikatakan dalam Qur'an sebagai berikut:

“Sesungguhnya, kami memberi makan kamu hanyalah karena mengharap keridaan Allah; tidaklah kami mengharapkan darimu balasan dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami amat takut kepada Tuhan kami pada hari yang muka menjadi masam dan kesulitan timpa-bertimpa.” (QS Al-Insan, 76: 9-10)

Inilah pengertian nurani orang yang beriman sempurna. Tak masalah betapa mengerikan keadaan, ia tidak menyeleweng dari mengikuti nuraninya dan tidak pernah berbuat baik dengan harapan akan hadiah. Pikiran bahwa Allah sadar akan perbuatan itu cukup baginya.

Dalam hal seseorang yang tidak memiliki akhlak yang diakibatkan iman yang sempurna, setiap ketaknyamanan menjadi alasan sah untuk membolehkannya mengabaikan pilihan benar yang dibimbingkan nuraninya. Kebutuhan-kebutuhan lahiriah seperti kurang tidur, kelelahan, atau kelaparan amat mungkin mengubah sikapnya, membuatnya menjadi orang yang tidak menenggang, tegang, dan pemarah. Pada saat-saat itu, jangankan menolong orang lain, ia menjadi kasar kepada orang-orang sekitarnya yang mencoba menolongnya. Jika bersedia membantu orang lain – yang sering merupakan keadaan yang luar biasa – ia pasti bersungut-sungut tentang itu, menggerutui yang ditolongnya dan sebisa mungkin membuatnya merasa berutang budi.

Sebagaimana nampak di sini, ada jurang lebar antara akhlak dan sikap mereka yang beriman sempurna dan mereka yang tidak memiliki sifat-sifat bawaan mulia itu. Perbedaan ini menjadi jelas pada setiap saat kehidupan mereka dan akan membuat perbedaan besar dalam ganjaran yang akan mereka terima di hari kemudian.

Kesabaran Mereka Yang Beriman Sempurna

Bagi orang yang beriman sempurna, cakupan kesabaran tidak terbatas pada menanggung kesusahan dan masalah dengan ketenangan. Menurut ayat: “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu…” (QS Al-Imran, 3: 200), sepanjang hidup ia menunjukkan tekad tak goyah untuk seksama memenuhi semua perintah Qur'an, menghindari yang dilarang, menunjukkan kesempurnaan akhlak dalam setiap keadaan, tanpa menjadi cemas atau takut. Pendeknya, ia berbulat tekad memperlihatkan kesabaran dan sikap baik sebagaimana disarankan agama. Hal itu karena seseorang dapat mengembangkan sifat bawaan mulia ini hanya jika ia melakukan upaya yang tekun. Mereka yang beriman sempurnalah yang menunjukkan kesabaran selagi berupaya demikian. Sebagaimana diberitahukan Nabi Muhammad SAW kepada Muslim dalam hadis berikut, mereka mengetahui bahwa kesabaran itu hadiah untuk mereka dari Allah:

“Tak seorang pun dapat diberi hadiah lebih baik dan lebih mewah daripada kesabaran.” (Bukhari dan Muslim)

Itulah mengapa kesabaran meliputi seluruh kehidupan orang yang beriman sempurna dan mewujud dalam semua perbuatan dan sikapnya. Orang yang beriman sempurna menunjukkan kesabaran luar biasa dalam penaatan perintah Tuhan kita, “Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik.” (QS Al-Ma’arij, 70: 5) Ia memperlihatkan kesabaran dalam kerendah-hatian dan menjadi orang yang paling rendah hati; ia menunjukkan kesabaran dalam tidak mendahulukan diri sendiri dan menjadi orang yang paling banyak berkorban …

Contoh berikut dalam Qur'an tentang kesabaran yang tersingkap selagi menunjukkan kesempurnaan akhlak akan memberikan kita pemahaman yang lebih baik tentang gagasan ini:

Dan tidakkah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara kamu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. (QS Fushilat, 41: 34-35)

Sebagaimana ditunjukkan ayat itu, Allah memerintahkan manusia menanggapi perbuatan jahat dalam cara sebaik mungkin dan menekankan bahwa hanya mereka yang sabar dapat berhasil melakukannya. Contoh ini dengan gamblang memperlihatkan bahwa jika kesempurnaan akhlak mesti ditunjukkan, penting untuk bersabar. Tidak pernah merasa gusar menghadapi peristiwa-peristiwa yang tampaknya buruk merupakan sifat lain mukmin yang beriman sempurna. Di sisi lain, saat mendapatkan nikmat yang dianugerahkan kepadanya, ia tidak menjadi teranja.

Seseorang bisa sangat dermawan, mengorbankan diri dan sangat rendah hati pada masa tertentu kehidupannya. Atau, ia mungkin tetap tabah menghadapi kesusahan. Akan tetapi, kegagalan menunjukkan sifat bawaan terpuji ini di bawah keadaan tertentu, dan karena itu memiliki sejumlah batasan atau titik lemah, mungkin memansukhkan upaya sebelumnya seseorang untuk bertindak benar. Orang harus menghayati semua nilai-nilai ini dalam wataknya. Sifat-sifat ini harus jauh dari peniruan, pemalsuan, kedangkalan atau kesementaraan; semua itu harus menjadi pembentuk-pembentuk bangunan Qur'aniah yang mapan. Allah juga menyatakan bahwa menunjukkan terus-menerus nilai-nilai kebajikan yang telah menjadi bagian terpadu watak seseorang adalah terpuji di mata Allah: “Tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS Al-Kahfi, 18: 46)

Kesabaran adalah salah satu tanda terpenting ketulusan mukmin dan upayanya mendekat kepada Allah: orang hanya dapat menunjukkan kesabaran dalam kaitan dengan ketulusan dan kedekatannya dengan Allah. Mereka yang beriman sempurna yang bertekad menunjukkan sifat-sifat ini bersaing dengan mukmin lain dalam bersabar. Jika membuat pengorbanan dibutuhkan, mereka membawakan diri dengan benar dan membawa semua sumberdaya harta dan tenaga ke dalam kancah. Perhatian kita ditarik ke sifat ini dalam sebuah ayat yang berbunyi: “Orang-orang yang sabar karena mencari keridaan Tuhannya…” (QS Al-Ra'd, 13: 22) Menghadapi kesukaran, orang-orang seperti mereka berpaling kepada Allah tanpa menyimpan perasaan tertekan atau ketakpastian apa pun dalam hatinya. Hal ini juga diungkapkan oleh Nabi kita SAW:

“Menakjubkan sungguh urusan mukmin. Baginya ada kebajikan dalam semua urusannya, dan ini hanya bagi mukmin. Jika sesuatu yang menyenangkan terjadi, ia bersyukur, dan itu baik baginya; dan ketika sesuatu yang menyusahkan terjadi, ia bersabar, dan itu baik baginya.” (Muslim)

Orang sering salah menafsirkan kesabaran dan mengiranya sebagai “menahan diri terhadap sesuatu”. Ini cuma makna kait jauh kesabaran yang dialami dan dirasakan oleh orang yang beriman sempurna, sebab “menahan diri terhadap sesuatu” merupakan bentuk wajib ketabahan yang diperlihatkan di hadapan keadaan yang menekan dan menyakitkan. Akan tetapi, kesabaran yang ditunjukkan demi tujuan Allah bukanlah sumber ketertekanan, melainkan penyebab kegirangan dan kebahagiaan luar biasa. Orang yang beriman sempurna menunjukkan kesabaran demi meraih rida Allah, dan karena itu tidak menjadi tertekan. Sebaliknya, dengan harapan menerima nikmat dan ganjaran yang Allah janjikan sebagai balasan bagi kesabarannya, ia menarik kegembiraan besar dari situ. Allah memberitahu kita dalam Qur'an bahwa kesabaran membuat tertekan kafirin:

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu. (QS Al-Baqarah, 2: 45)

Kesabaran orang yang beriman sempurna begitu besar sehingga kesabaran dan kegigihannya memohon tidak goyah, walaupun ia tidak dapat melenyapkan masalah atau mencapai keinginannya hingga kematian menjemput. Ia mengetahui bahwa Allah mengendalikan segalanya dan bahwa ia akan meraih ganjaran besar sebagai balasan kesabarannya. Karena alasan ini, ia puas terhadap Allah apa pun keadaan yang dihadapi, ia beriman kepada sifat pengasih dan penyayangNya yang abadi, dan menaruh kepercayaannya kepadaNya. Jika Allah tidak segera mengabulkan doanya, ia pasti mengetahui ada kebajikan dan keindahan lebih besar tersembunyi di dalamnya. Ia tidak pernah melupakan bahwa Allah mengabulkan semua doa dan memberikan ganjaran luar biasa bagi mereka yang sabar. Dan janjiNya sungguh benar. Satu ayat berbunyi: “…Siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) daripada Allah?” (QS Al-Nisa, 4: 87) Mukmin yang sadar akan kenyataan ini berpikir bahwa Allah mungkin akan memberinya lebih banyak nikmat namun, sebelumnya, Dia ingin ia tumbuh lebih dewasa. Mukmin yang teladan dalam kepasrahan mereka dirujuk dalam Qur'an sebagai: “Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun’ (sungguh kita berasal dari Dia dan sungguh kepadaNya kita kembali).” (QS Al-Baqarah, 2: 156)

Sungguh, Allah menganjurkan para hambaNya agar bersabar dalam menghadapi kesukaran yang mereka temui dan memberi kabar gembira bahwa mereka akhirnya akan memetik manfaat besar:

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (QS Al-Baqarah, 2: 155)

Mukmin menerapkan kesabaran sepanjang hidupnya. Ia menaati perintah Tuhannya: “Dan untuk Tuhanmu, bersabarlah kamu.” (QS Al-Muddatstshir, 74: 7) pada setiap saat kehidupannya. Akhirnya ia akan menemui Tuhannya dan diganjar dengan surgaNya. Malaikat-malaikat di pintu gerbang surga akan menyalaminya sebagai berikut: “(sambil mengucapkan): ‘salamun`alaikum bima shabartum’ (salam bagimu karena kesabaranmu). Alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS Al-Ra'd, 13: 24)

Pemahaman Akan Rasa Sayang Mereka Yang Beriman Sempurna

“… termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.” (QS Al-Balad, 90: 17)

Manusia, secara alamiah, cenderung merasakan kegembiraan dari hidup dengan nilai-nilai Qur'an dan merasa nyaman dengan kumpulan akhlak ini: “Maka hadapkanlah wajahmu lurus kepada agama (Allah); (tetaplah) atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu…” (QS Al-Rum, 30: 30) Karena hal ini, orang yang beriman sempurna biasanya memiliki semacam rasa kasih dan sayang yang dihimbaukan Qur'an. Ketika mukmin mematuhi nilai-nilai Qur'an, Dia mewujudkan nama-nama indahNya, ar-Rauf (Maha Ramah) dan ar-Rahman (Maha Pengasih), pada mereka. Allah Maha Pengasih dari pengasih, dan Maha Penyayang. Allah menarik perhatian kepada sifat kasih dan sayangNya yang tak berhingga:

… Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka. (QS Al-Taubah, 9: 117)

… Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang ". (QS Yusuf, 12: 92)

… Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (QS Al-Hajj, 22: 65)

Rasulullah SAW melukiskan rasa sayang Allah kepada mukmin dengan cara ini:

“Allah menunjukkan kasih sayang hanya kepada mereka di antara hamba-hambanya yang penyayang.” (Bukhari, Muslim)

Karena memiliki kesempurnaan akhlak ini, mereka yang beriman sempurna itu penyayang dan pengasih kepada manusia. Namun, pemahaman rasa sayang mereka sangat berbeda dengan pengertian yang meluas di masyarakat. Karena merupakan wujud dari rasa sayang Allah, rasa sayang mereka mengambi bentuk yang layak mendapatkan rida Allah dan sesuai dengan Qur'an. Mereka mengetahui bahwa pemahaman rasa sayang yang dibentuk oleh syarat tatanan yang tidak Qur'ani akan menjadi rasa sayang yang “jahat”.

Misalnya, selagi menolong orang lain, apakah pertolongan ini demi tujuan kebajikan atau maksud yang tidak menyenangkan Allah menjadi syarat utama bagi orang yang beriman sempurna. Jika pertolongan ini diminta demi maksud-maksud baik, maka rasa sayang orang yang beriman sempurna akan menggerakkan mereka memberikan segala macam bantuan. Namun, tidak pernah ia mau membantu seseorang yang akan memanfaatkan pertolongannya untuk melaksanakan perbuatan haram. Inilah rasa sayang sejati yang Allah ridai. Mencegah seseorang dari kesalahan dan memandunya ke jalan yang lurus merupakan kebajikan dan rasa sayang sejati, untuk mana bakal pendosa akan sangat bersyukur di hari kemudian, walaupun mungkin ia gagal meresapi nilai pentingnya di dunia ini.

Mukmin tidak menunjukkan rasa kasih dan sayang kepada mereka yang telah menjadikan menentang nilai-nilai agama sasaran utama mereka. Syarat yang diajukan Qur'an tentang hal ini adalah sebagai berikut:

Muhammad itu utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka… (QS Al-Fath, 48: 29)

Mukmin hanya menunjukkan rasa sayang kepada “mukmin”, hamba-hamba Allah yang setia. Di sisi lain, sikap mereka kepada kafirin sangat tegas dan yakin. Mereka tidak menunjukkan kasih sayang, sebab inilah jenis “rasa sayang yang jahat” tersebut di atas. Sikap yang diambil orang-orang seperti mereka kepada mukmin diperjelas dalam ayat: “Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakiti(mu); dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir.” (QS Al-Mumtahanah, 60: 2) Karena itu, jelaslah tidak bijaksana untuk memperlihatkan rasa sayang kepada orang yang menyimpan kebencian mendalam kepada mukmin dan mencari kesempatan memamerkannya.

Di samping ini, kasih dan sayang yang ditunjukkan mereka yang beriman kepada mukmin lainnya sungguh-sungguh teladan dan unik. Rasa sayang ini diiringi oleh sifat-sifat kemanusiaan seperti pengorbanan, timbang rasa, pemaaf, pengasih, dan penghormatan. Mereka yang beriman sempurna mengetahui kebutuhan-kebutuhan lahiriah dan batiniah mukmin lain bahkan sebelum mukmin itu mengungkapkannya, dan tidak membuang waktu demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu karena kasih sayang mendalam yang mereka rasakan kepada mukmin tersebut. Sama dengan setiap masalah lain, Nabi kita SAW memberikan teladan terbaik dengan kesempurnaan akhlak yang ditunjukkannya dalam hal rasa kasih dan sayang. Rasa kasih dan sayang yang dirasakan Nabi kita SAW terhadap Muslim dijelaskan dalam ayat berikut:

Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS Al-Taubah, 9: 128)

Sebagaimana terlihat dalam ayat di atas, kasih dan sayang yang Nabi kita SAW rasakan bagi mukmin begitu besar sehingga penderitaan mereka amat menekannya. Inilah pemahaman rasa sayang bagi mereka yang beriman sempurna.

Pengorbanan Diri Mereka Yang Beriman Sempurna

Hanya menakuti Allah dan beriman kepada hari kemudian yang memandu manusia untuk berkorban tanpa mengharapkan hadiah apa pun sebagai balasannya; mereka yang takut kepada Tuhan mengharapkan pahala hanya dari Allah. Karena alasan ini, tidak seperti orang-orang yang melalaikan nilai-nilai agama, mereka yang beriman sempurna tidak membuat pembedaan di antara manusia atau masalah selagi berkorban.

Akan tetapi, dalam masyarakat jahiliah (diliputi kebodohan), kebanyakan orang tidak memiliki pemahaman halus tentang pengorbanan. Alasan utamanya adalah sifat mementingkan diri sendiri, sebuah sifat bawaan yang berhulu pada kejauhan dari nilai-nilai Islam. Dalam masyarakat yang jauh dari nilai-nilai agama, setiap orang utamanya atau hanya memperhatikan diri sendiri dan benar-benar mengabaikan kebutuhan dan keutamaan orang lain.

Sikap orang yang beriman sempurna lagi-lagi sepenuhnya berbed; ia, di atas segalanya, adalah seseorang yang telah menyucikan diri dari hasrat nafsu-nafsu rendah semacam itu. Sungguh, hanya mukmin yang telah mengatasi hasrat yang tak pernah puas dalam dirinya dan telah berhasil mengendalikannya dapat berkorban dan bertimbang rasa dalam pengertian sebenarnyanya. Sungguh, keimanan sempurna mendorong kesempurnaan akhlak bahwa mukmin menganggap kepentingan dan kebutuhan saudara-saudaranya lebih utama daripada kepentingan dan kebutuhan diri sendiri. Inilah keimanan sempurna, kepasrahan sejati, dan nurani sejati. Qur'an memberikan contoh berikut:

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS Al-Hasyr, 59: 9)

Sebagaimana dikatakan ayat di atas, bahkan jika orang yang beriman sempurna sedang membutuhkan, ia lebih suka memenuhi kebutuhan dan keutamaan saudara-saudaranya. Lebih jauh lagi, pengutamaan yang mulia ini tidak terbatas pada kejadian-kejadian tertentu; sifat ini timbul dari sikap yang menyaput seluruh kehidupannya. Bahkan jika ia lapar, kurang tidur dan kelelahan, harfiahnya dalam keadaan yang buruk secara lahiriah, ia mendahulukan bagi kebutuhan–kebutuhan mukmin lain dan merasakan tiada kesulitan dalam mengenyampingkan kebutuhannya sendiri. Sambil melakukan hal ini, ia tidak pernah merasakan ketertekanan. Lebih-lebih, ia seksama menghindari melakukan sesuatu demi membuat pihak lain merasa berutang budi.

Ketika mereka yang tidak hidup dengan nilai-nilai agama membuat pengorbanan wajib, mereka pasti membuat sasaran “kedermawanan” merasakan ketakpuasan mereka. Mereka menampakkan amarah dan ketaksabaran yang mereka rasakan jauh di dalam dengan pandangan gusar atau sikap masam. Akan tetapi, orang beriman sejati tidak pernah merendahkan diri untuk menunjukkan sikap masam demi membuat pihak lain mencatat pengorbanannya. Sebaliknya, ia membawakan diri paling mulia dan menyerahkan hak-haknya dengan sukarela, sebab pengetahuan Allah akan pengorbanan itu sudah cukup baginya. Karena alasan ini, pada sebagian besar kesempatan, pihak lain tidak pernah merasakan bahwa sebuah pengorbanan telah dibuat.

Kerendahhatian Mereka Yang Beriman Sempurna

"… Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa. Karena itu, berserah dirilah kamu kepadaNya, dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).” (QS Al-Hajj, 22: 34)

Pengertian Qur'an tentang kerendahhatian adalah pengakuan kedudukan seseorang sebagai hamba Allah yang tak sempurna dan menjalankan seluruh kehidupannya dalam penerimaan kenyataan ini. Sikap sebaliknya tak terpikirkan oleh orang yang dapat menghargai Penciptanya. Dialah Yang menciptakan manusia, Yang memberi dan mengambil jiwanya, dan Yang mengatur semua urusan. Tiada tuhan melainkan Dia, Dia Maha Pengasih, Paling Pengasih. Dia meliputi segala sesuatu, Dia memiliki kekuasaan atas segala sesuatu, Dia Yang menciptakan takdir, Dia Yang mendengar, melihat, dan mengetahui segala sesuatu. Allah tinggi di atas segalanya. Dia tidak membutuhkan apa pun. Dia tidak alpa maupun lupa.

Di sisi lain, manusia adalah makhluk tak sempurna yang tidak mampu menciptakan apa pun. Lebih jauh, ia sendiri diciptakan dan tidak mengetahui apa pun selain daripada yang telah diajarkan Allah kepadanya. Setiap saat ia bergantung pada ribuan nikmat yang dianugerahkan Allah kepadanya. Bahkan, jika satu saja dari nikmat-nikmat ini hilang, ia menjadi lemah dan putus asa. Ia makhluk tak sempurna yang terus-menerus memerlukan nikmat-nikmat Allah agar bertahan hidup.

Tidak rendah hati itu melawan sifat paling alamiah manusia yang lemah dan tak sempurna di hadapan Allah. Karena itu, orang yang beriman sempurna tidak pernah gagal melihat kelemahan dirinya. Kesadaran ini yang ia bangun melalui perenungan, adalah apa yang mengilhaminya dengan semangat rendah hati, dan ini mewujud di raut wajah, penampilan, pembicaraan, maupun di setiap sifat bawaannya. Misalnya, hanya orang yang rendah hati dapat menerima peringatan. Ia senang mendengar kecaman atau nasehat apa pun yang datang dari mukmin. Sungguh, orang yang beriman sempurna bahkan tidak berkeberatan atas kecaman tentang sesuatu yang ia paling seksama; ia menerima nasehat dan berjuang demi perbaikan tindakan-tindakannya. Ketika diberitahu ia salah tentang sesuatu padahal benar, ia menerima kecaman ini dengan kedewasaan, sebagaimana dalam contoh Nabi Yusuf AS:

Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.... (QS Yusuf, 12: 53)

Karena pemahaman akan kerendahhatian semacam itu menghindarkannya dari merasa puas diri dan akibatnya membanggakan kecerdasan, ia menarik manfaat dari semua peringatan, nasehat, dan kecaman. Orang yang, gagal mengingat ketaksempurnaannya, membanggakan kecerdasannya dan dengan angkuh berpaling dari Allah, menganut sikap yang bertentangan dengan sifat paling alamiahnya. Allah menarik perhatian ke kenyataan bahwa inilah hasrat yang tak tergapai: “Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya...” (QS Al-Mukmin, 40: 56) Allah tidak mencintai siapa pun yang membanggakan diri:

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan dimuka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS Luqman, 31: 18)

Nabi Muhammad SAW juga menyarankan mukmin untuk menunjukkan kerendahhatian satu sama lain:

“(Allah) telah menyingkapkan kepadaku bahwa kalian harus menerapkan kerendahhatian sehingga tidak saling menindas.” (Riyadhush Shalihin)

Si sombong dan si pembangga diri telah melupakan penciptaan serta kelemahan lahiriah dan kecerdasan mereka di hadapan Allah, yang merupakan sifat-sifat iblis sebagaimana dijelaskan Qur'an. Allah menciptakan Adam dan memerintahkan semua malaikatNya bersujud di hadapannya. Menganggap dirinya lebih unggul daripada manusia, iblis memberontak terhadap Allah dan tidak mengindahkan perintah ini. Sikap jahat iblis dijelaskan dalam Qur'an:

(Ingatlah) Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka, apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.” Lalu, seluruh malaikat-malaikat itu bersujud, kecuali Iblis; dia menyombongkan diri dan dia termasuk orang-orang yang kafir. Allah berfirman: “Hai Iblis, apakah yang menghalangi kamu bersujud kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tanganKu? Apakah kamu menyombongkan diri, ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?“ Iblis berkata: “Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” Allah berfirman: “Maka keluarlah kamu dari surga; sesungguhnya kamu orang yang terkutuk, sesungguhnya kutukanKu tetap atasmu sampai hari pembalasan.” (QS Shad, 38: 71-78)

Inilah keadaan mereka yang memperlakukan manusia dengan keangkuhan karena berpaling dari Allah. Yakin setinggi-tingginya akan kemampuan diri sendiri, mereka tidak menghargai pendapat orang lain. Mereka bersikeras dengan cara berpikir mereka sendiri, yang merupakan kecenderungan yang menyebabkan mereka terseret menjauh dari nilai-nilai Qur'an. Lebih penting lagi, mereka yang gagal mengenali kelemahan diri di hadapan Allah akan dikirim ke neraka:

Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, mereka itu penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS Al-A’raf, 7: 36)

Di sisi lain, mereka yang beriman sempurna akan dibalas dengan surga karena menghindari sikap tercela seperti itu:

Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. (QS Al-Qashash, 28: 83)

 

BAGIKAN
logo
logo
logo
logo
logo
  • Pengantar
  • Apakah Iman Yang Sempurna Itu?
  • Iman Kepada Allah Mereka Yang Beriman Sempurna
  • Laku Ibadah Mereka Yang Beriman Sempurna
  • Kepasrahan Mereka Yang Beriman Sempurna Pada Takdir
  • Pandangan Mereka Yang Beriman Sempurna Terhadap Kehidupan Dunia Ini
  • Pandangan Mereka Yang Beriman Sempurna Terhadap Kematian
  • Iman Kepada Hari Kemudian Mereka Yang Beriman Sempurnas
  • Akhlak Mulia Yang Diganjarkan Iman Yang Sempurna
  • Kehidupan Indah Mereka Yang Beriman Sempurna
  • Contoh-Contoh Iman Yang Sempurna Dalam Qur'an
  • Kesimpulan
  • Orang-Orang Beriman Sempurna Dalam Qur’an
  • Seperti Apakah Orang Yang Beriman Sempurna?