Selain mematuhi perintah-perintah Allah dan menyembahNya, perubahan yang paling penting bagi mereka yang baru mulai menjalani kehidupan beragama adalah membangun kehidupan yang berlandaskan moral yang baik dengan selalu mengikuti hati nurani. Setiap orang akan memiliki karakter dan cara hidup yang dipilihnya sebelum menjadi terbiasa dengan aturan agama. Namun, setelah memulai kehidupan agamanya, ia harus selalu memelihara setiap perilaku yang baik untuk mencari ridha Allah. Dan dengan segera meninggalkan perbuatan yang tidak sesuai dengan standar Al-Qur’an, atau merubah dan memperbaikinya agar sejalan dengan moral-moral Al-Qur’an.
Orang yang sungguh-sungguh beriman tidak akan memiliki pandangan dan gaya hidup yang berubah-ubah. Bagi mereka, Al-Qur’an merupakan satu-satunya kriteria. Dan satu-satunya figur yang diteladani hanyalah para Nabi dan orang-orang beriman, yang Allah jadikan teladan di dalam Al-Qur’an.
Sebelum mendapat peringatan, seseorang dianggap bodoh (lalai) dalam masalah agama, tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Karenanya, jika ia bertaubat kepada Allah dan memohon ampunannya, serta tidak kembali atau mengulangi kesalahannya itu, ia tidak harus bertanggungjawab atas dosanya di masa lampau. Dalam pandangan Allah, yang penting kita tidak berusaha membenarkan kesalahan atau dosa apapun.
Allah menyampaikan kabar gembira di bawah ini kepada orang-orang yang beriman:
Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh, sungguh akan Kami hapuskan dosa-dosa mereka dan akan Kami beri balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan. (Surat Al-‘Ankabut: 7)
Allah mewajibkan kepada seluruh manusia untuk beragama Islam. Setiap orang yang mengetahui keberadaan agama ini akan ditanya di akhirat kelak apakah dia patuh kepada Al-Qur’an atau tidak. Menyeru kepada jalan benar merupakan salah satu kandungan Al-Qur’an. Oleh karena itu, orang yang menjalankan agama Allah harus menyampaikan moral-moral Islam kepada orang lain, mengajak mereka ke jalan yang benar. Yakni, mengajak mereka berbuat baik dan mencegah mereka berbuat salah. Di dalam Al-Qur’an, Allah menyampaikan perintah berikut ini:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang mendapatkan keberuntungan. (Surat Ali ‘Imran: 104)
Agama Islam menyeru manusia untuk bersabar karena Allah. Hal ini termaktub dalam Al-Qur’an Surat Al-Muddatsir ayat 7: “Dan untuk Tuhanmu, bersabarlah.” Kesabaran merupakan salah satu sifat manusia yang terpenting, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari moral baik yang dijunjung tinggi. Juga merupakan bagian dari amal-amal baik untuk mencari ridha Allah.
Namun demikian, kita harus membedakan antara kesabaran dengan “toleransi”. Toleransi merupakan sifat baik yang timbul karena mau menanggung kesusahan yang tidak menyenangkan atau menyakitkan. Sementara kesabaran, seperti disebutkan dalam Al-Qur’an, bukan sumber kesusahan bagi mereka yang beriman. Orang yang beriman bersabar karena mencari ridha Allah. Karenanya, ia tidak merasa susah untuk bersikap sabar; malah sebaliknya, ia mendapatkan kesenangan batin darinya.
Seperti dinyatakan dalam Al-Qur’an, kesabaran juga meliputi seluruh karakteristik orang yang beriman. Sebab hanya dengan disertai kesabaran lah sifat-sifat seperti rendah hati, dermawan, mau berkorban atau keta’atan memiliki nilai yang sebenarnya. Artinya, kesabaran merupakan sifat yang membuat sifat-sifat lainnya menjadi berharga dan diakui.
Betawakal kepada Allah artinya menggantungkan diri kepadaNya karena menyadari bahwa segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ada di bawah kendalinya, serta merasa yakin bahwa tak seorang pun dapat menolong atau mencelakakan orang lain tanpa seijinNya. Orang-orang beriman mengetahui bahwa Allah Mahakuasa, dan segala yang dikehendakiNya akan terjadi hanya dengan mengatakan “Jadilah!”. Mereka pun tak pernah tawar hati dalam menghadapi kesulitan. Mereka tahu bahwa Allah akan menolong mereka, dan yakin bahwa Allah akan memberikan kemudahan di dunia ini dan di akhirat kelak. Menyadari hal itu, hati mereka selalu tentram dan gembira.
Yang harus dilakukan seseorang yang beriman hanyalah merespons segala kejadian dengan perbuatan yang disukai Allah, dan menanti hasilnya sesuai kehendakNya. Rahasia besar yang hanya difahami orang-orang yang beriman ini, dijelaskan dalam ayat berikut:
...Barang siapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia memberikan kepadanya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barang siap bertawakkal kepada Allah niscaya Allah mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah menyempurnakan kehendakNya . Dan Allah telah mengadakan ketentuan atas segala sesuatu. (Surat At-Talaq: 2-3)
Taqwa artinya mematuhi segala perintah Allah dan menjauhi segala pikiran dan perbuatan merugikan yang dilarang Allah. Di dalam Al-Qur’an, nama lain bagi orang beriman yang selalu ta’at kepada Allah adalah “orang yang saleh”. Pentingnya sifat taqwa disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
...Berbekal lah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa. Dan bertaqwa lah kepadaKu hai orang-orang yang berakal! (Surat Al-Baqarah: 197)
Di mata Allah, keutamaan tidak didasarkan pada kekayaan, kedudukan, kecantikan atau hal lain yang dimiliki manusia, melainkan didasarkan pada kedekatan kepadaNya, yakni ketaqwaan:
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling taqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Waspada. (Surat Al-Hujurat: 13)
Salah satu karakteristik penting dari orang yang beriman kepada Allah adalah kemampuan melihat tanda-tanda kekuasaan Allah melalui ciptaanNya. Ia melihat kekuasaan dan karya seni Allah di setiap kehalusan dan kesempurnaan ciptaanNya, seraya memuji KebesaranNya. Sikap demikian membuatnya semakin dekat kepada Allah. Karakteristik seperti ini disebutkan dalam Al-Qur’an:
(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring serta memikirkan penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.’ (Surat Ali ‘Imran: 191)
Allah menekankan pentingnya tafakkur bagi orang yang beriman. Di banyak tempat dalam Al-Qur’an, akan kita temui ayat-ayat yang berbunyi “Tidakkah kamu mau berpikir?” atau “Terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi mereka yang mau berpikir”.
Hal yang dapat dipikirkan tidak terbatas jumlahnya. Seorang yang beriman bisa memikirkan banyak hal, antara lain: tatanan alam semesta yang luar biasa, mahluk-mahluk yang hidup di muka bumi, peristiwa yang ia alami, rahmat Allah yang tiada henti, bencana yang diturunkan kepada orang-orang kafir, surga, neraka, alam baka, dan lain sebagainya. Dengan memikirkannya secara mendalam, ia dapat menyadari keberadaan, kekuasaan dan kebijakan Allah dengan lebih baik, dan lebih memantapkan keimanannya.
Agama tidak pernah bertentangan dengan sains. Allah lah yang menciptakan keduanya. Maka ketidak sesuaian ataupun pertentangan di antara keduanya merupakan hal yang mustahil. Di dalam A-Qur’an yang diturunkan 1400 tahun yang lalu, ada penjelasan-penjelasan ilmiah tertentu yang kini telah dibuktikan kebenarannya dengan menggunakan peralatan teknologi abad 20. Pernyatan bahwa agama bertentangan dengan sains merupakan kebohongan yang dibuat-buat oleh mereka yang mengingkari Allah. Tujuan mereka adalah menciptakan keraguan terhadap agama.
Banyak yang melakukan riset ilmiah melihat dengan mata kepala sendiri, betapa rumit dan sempurnanya struktur dan keteraturan pada mahluk hidup. Mereka melihat betapa serasinya hubungan antara satu dengan lainnya. Mereka tidak dapat mengelak akan keberadaan Allah yang Mahaagung. Kenyatan ini ditunjukkan dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
...Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambanya adalah mereka yang berilmu... (Surat Fatir: 28)
Tidak mengherankan jika banyak ilmuwan yang termasyur di masa kini dan di masa lampau terkenal karena keyakinan dan kepasrahan mereka kepada Allah dan agamaNya. Beberapa di antara mereka adalah: Einstein, Newton, Galileo, Max Planck, Kelvin, Maxwell, Kepler, William Thompson, Robert Boyle, Iona William Petty, Michael Faraday, Gregory Mendel, Louis Pasteur, John Dalton, Blaise Pascal, dan John Ray.
Di jaman kita, banyak ilmuwan yang menegaskan keberadaan Allah. Lebih dari itu, mereka melihat sains sebagai sarana untuk mengenal Allah. Aliran “Kreasionisme” atau aliran “Rancangan Sadar” di Amerika Serikat merupakan salah satu indikasi khusus.
Menyembah Allah merupakan salah satu amal penting untuk bersyukur atas karunia Allah. Selain diungkapkan dengan kata-kata, rasa syukur dapat diungkapkan melalui perbuatan. Misalnya, menggunakan pemberian Allah untuk hal yang dianjurkanNya, untuk menolong orang yang membutuhkan dan untuk tujuan-tujuan baik tanpa pemborosan. Selain itu, ia harus menyadari pula bahwa segala yang dibutuhkannya berasal dari Allah. Tidak ada sesuatupun yang ia miliki. Semuanya semata-mata karena pemberian Allah. Dan ia harus bersyukur atas semua itu. Hal ini dinyatakan dalam Al-Qur’an:
Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang Allah berikan kepadamu; dan syukurilah karunia ni’mat Allah, jika hanya kepadaNya kamu menyembahnya. (Surat An-Nahl: 114)
Setan adalah mahluk ciptaan Allah dari jenis jin. Setelah Allah menciptakan Adam sebagai manusia pertama, Allah memerintahkan kepada seluruh malaikat untuk bersujud kepada Adam. Hanya setan yang tidak mengikuti perintah Allah karena kesombongannya. Setan berkata:
Ya Tuhanku, karena Engkau memutuskan bahwa aku sesat, aku akan membuat manusia memandang baik terhadap segala yang ada di muka bumi dan aku akan menyesatkan mereka semua. (Surat Al-Hijr: 39)
Setelah itu setan diusir dari hadapan Allah. Ia meminta penangguhan usia hingga hari kebangkitan untuk mempengaruhi manusia agar terjauhkan dari jalan Allah dan menjadi sesat. Karenanya, setan merupakan penghalang keberhasilan dan musuh yang paling berbahaya bagi setiap manusia.
Allah menyebutkan dalam Al-Qur’an bahwa setan membisikkan anjuran-anjuran jahat ke dalam hati manusia. Karenanya manusia diperintahkan untuk berlindung kepada Allah dari bisikan jahat itu:
Katakanlah: ‘Aku berlindung kepada Tuhan manusia, Raja manusia, Sembahan manusia, dari bisikan jahat yang tersembunyi, yang dibisikkan ke dalam dada manusia, dari golongan jin dan manusia.” (Surat An-Nas: 1-6).
Bisikan jahat merupakan taktik setan yang paling busuk. Kebanyakan orang tidak menyadari bahwa pikiran-pikiran tertentu berasal dari setan. Mereka mengiranya sebagai pikirannya sendiri.
Sebagai contoh, orang yang baru masuk agama Islam merupakan sasaran penting bagi setan. Setan membuat agama nampak susah dipelajari bagi orang tersebut. Atau membisikkan kepada orang tersebut bahwa apa yang diamalkannya telah cukup dan tidak perlu lagi amal-amal lainnya. Orang yang dipengaruhi ini bisa saja berpikir bahwa semua itu benar. Contoh lainnya, setan menimbulkan perasaan-perasaan takut, cemas, tegang, atau kesusahan pada manusia sehingga membuatnya kepayahan. Ia berusaha mencegah mereka dari perbuatan baik dan dari sikap dermawan, serta dari berpikir secara sehat.
Mesti diingat bahwa setan mempengaruhi manusia agar melakukan kebohongan pada setiap akar kejahatan di dunia ini, termasuk dalam peperangan, pembunuhan massa dan pelanggaran susila.
Hal paling penting yang harus dipegang adalah bahwa setan tidak memiliki kekuatan sendiri. Seperti mahluk lainnya, ia pun mahluk ciptaan Allah dan ada dibawah kekuasaanNya. Ia tak dapat melakukan apapun tanpa seijinNya. Setan bisa menyesatkan manusia atas ijin Allah. Dengan cara ini, Allah menguji siapa yang turut dan siapa yang menolak ajakan setan di dunia ini. Hal ini dinyatakan Allah di dalam Al-Qur’an:
Dan tidak ada kekuasaan setan terhadap mereka, melainkan agar kami dapat membedakan siapa yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat dan siapa yang ragu-ragu tentang itu. Dan Tuhanmu Maha Memelihara segala sesuatu. (Surat Saba’: 21)
Godaan setan tidak berpengaruh kepada orang yang sungguh-sungguh beriman. Kenyataan ini disampaikan Allah dalam ayat berikut:
Sesungguhnya setan itu tidak memiliki kekuasaan terhadap orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Allah. Sesungguhnya kekuasaannya hanya atas orang-orang yang mengambilnya sebagai temannya dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah. (Surat An-Nahl: 99-100)
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakan yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (Surat Al-Ma’idah: 50)
Apapun ideologi, filosofi atau wawasan dunianya, ada “agama” yang sama yang dipegang dan dijalankan oleh mereka yang tidak menganut agama yang benar. Agama ini menyimpang dari agama yang benar. Masyarakatnya menerima pertimbangan, norma-norma, dan pikiran-pikiran yang ditawarkan agama ini melalui propaganda intensif sejak mereka lahir. Nama agama ini adalah “agama jahiliyah”.
Ciri mendasar dari masyarakat yang menjalankan agama ini adalah selalu mencari persetujuan masyarakatnya, bukannya mencari ridha Allah. Mereka membangun kehidupannya di sekitar poros tujuan ini.
Yang dituntut dari individu-individu yang tinggal dalam masyarakat demikian adalah melaksanakan moral, budaya, sikap dan perilaku tertentu yang diterima masyarakat, serta menunjukkan perangai yang disukai anggota masyarakatnya.
Masyarakat adat yang terpisah jauh dari agama Allah beranggapan bahwa pendapat orang banyak selalu benar. Ini merupakan kesimpulan yang sama sekali keliru. Bahkan bertentangan dengan yang disebutkan Allah dalam Al-Qur’an, “Kebanyakan manusia tidak akan beriman...” (Surat Yusuf: 103).
Dalam ayat-ayat lain, Allah juga menyatakan bahwa mereka yang mengikuti mayoritas kafir akan mengalami kerugian. Pernyataan itu menyiratkan bahwa di setiap jaman, orang-orang beriman selalu minoritas sedangkan yang terjauhkan dari agama Allah selalu mayoritas. Namun karenanya, kedudukan orang-orang beriman jauh lebih tinggi dibanding mereka yang berpegang teguh pada “agama jahiliyah”.
Agar selamat dari sistem yang ingkar kepada Allah ini, hal pertama, dan juga yang terpenting, yang harus dilakukan adalah selalu berusaha hanya mencari ridha Allah. Juga menjalankan dengan ketat moral-moral dan cara hidup seperti yang disampaikan Allah dalam Al-Qur’an. Orang yang meneladani petunjuk Al-Qur’an, secara otomatis menjauhkan dirinya dari moralitas dan perilaku buruk yang terbentuk dalam masyarakat jahiliyah.
Kebijaksanaan adalah sifat penting yang hanya dimiliki oleh umat beriman. Namun ada perbedaan besar antara pengertian bijaksana menurut masyarakat banyak dan bijaksana menurut agama. Kebijaksanaan yang dirujuk Al-Qur’an merupakan konsep yang samasekali berbeda dari kecerdasan. Kecerdasan merupakan kapasitas biologis yang dimiliki manusia. Ia tidak pernah meningkat ataupun menurun. Sedangkan kebijasanaan merupakan karunia Allah yang diberikan kepada orang-orang beriman yang ta’at dan takut kepadaNya. Kebijaksanaan seseorang meningkat sesuai dengan tingkat keta’atannya.
Ciri utama dari orang yang bijaksana adalah rasa takutnya yang besar kepada Allah dan kepatuhannya kepada perintahNya. Ia selalu mengikuti hati nuraninya dan menilai segala sesuatu berdasarkan Al-Qur’an untuk mencari ridha Allah. Secerdas dan sepandai apapun dia, seseorang tidak akan memiliki kebijaksanaan tanpa memiliki sifat di atas. Tanpa kebijaksanaan, orang cenderung kurang mampu untuk memahami dan melihat kebenaran. Allah menjelaskan dalam Al-Qur’an bahwa kurangnya kebijaksanaan akan menimbulkan kerusakan:
Sesungguhnya mahluk terburuk di mata Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli, yang tidak menggunakan akalnya. (Surat al-Anfal: 22)
Seorang yang bijaksana juga memiliki visi. Ia mampu membuat keputusan yang benar dan tepat. Karena ebijaksanaannya, ia mampu melihat esensi dari peristiwa dan inti kebenaran suatu perkara.
Yang melemahkan hati dan pikiran manusia adalah ambisi dan hawa nafsunya. Misalnya, takut akan masa depan, iri hati, obsesi yang sangat terhadap hal-hal duniawi, atau hal-hal yang romantis. Hal-hal seperti ini menyita pikirannya dan mengalihkan perhatiannya dari hal-hal yang lebih penting, seperti keagungan Allah dan kesempurnaan ciptaanNya.
Allah mengingatkan kita bahwa keberuntungan hanya bisa diperoleh jika kita terbebas dari obsesi hawa nafsu:
...yaitu mereka yang terpelihara dari keserakahan dirinya. Mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Surat Al-Hashr: 9)